Legenda Kembang Wijaya Kusuma Kota Cilacap
A. Pendahuluan
A. Pendahuluan
Salah
satu bentuk sastra lisan yang dikenal luas baik oleh masyarakat maupun
oleh peneliti sebagai objek kajian, yang terdapat di setiap daerah di
Nusantara ini adalah legenda. William Bascom (1965: 4) memasukkan
legenda sebagai satu dari tiga golongan besar cerita prosa rakyat,
selain mite dan dongeng. Menurutnya, legenda adalah prosa rakyat yang
memiliki ciri-ciri seperti mite, dianggap benar-benar terjadi, tetapi
tidak dianggap suci. Berlainan dengan mite yang ditokohi oleh dewa-dewa
atau manusia setengah dewa, legenda ditokohi oleh manusia, walau sering
pula mempunyai kekuatan luar biasa dan dibantu mahluk-mahluk gaib.
Dari
ribuan legenda yang ada di Nusantara, beberapa di antaranya berasal
dari daerah Cilacap. Legenda yang terkenal antara lain yang menceritakan
Kembang Wijaya Kusuma dan Pulau Nusakambangan. Legenda ini hidup subur
di tengah-tengah masyarakat dalam beragam versinya. Legenda ini dapat
dikategorikan sebagai sastra lisan yang diwariskan turun temurun dari
generasi ke generasi. Selain itu, legenda-legenda ini juga bersifat
anonim dan menjadi milik bersama masyarakatnya (Abdullah, 1999:1).
Seperti
halnya mitos dalam pandangan Levi-Strauss, legenda juga menyimpan
dasar-dasar nalar universal manusia/masyarakat pemiliknya. Legenda
merupakan mitos yang diciptakan masyarakat di mana legenda itu berasal.
Di dalamnya terdapat logika primitif, logika dasar, dalam bentuknya yang
masih belum terkontaminasi oleh lingkungan artifisial kehidupan manusia
modern (Ahimsa-Putra, 2006:75-76). Legenda ini lahir dari hasil
imajinasi manusia, dari khayalan manusia walaupun unsur-unsur khayalan
itu berasal dari apa yang ada di kehidupan sehari-hari. Dalam legenda
inilah, khayalan manusia memperoleh kebebasannya yang mutlak, karena di
situ tidak ada larangan bagi manusia untuk menciptakan dongeng apa saja
(Ahimsa-Putra, 2006:77).
Menurut
Levi-Strauss, seperti halnya mimpi menurut pandangan Freud, mitos
termasuk legenda, pada dasarnya adalah ekspresi atau perwujudan dari unconscious wishes,
keinginan-keinginan yang tak disadari, yang sedikit banyak tidak
konsisten, tidak sesuai, tidak klop, dengan kenyataan sehari-hari
(Leach, 1974: 57 via Ahimsa-Putra, 2006:79). Dalam koridor konsep
seperti inilah Legenda Kembang Wijayakusuma dan Nusakambangan akan
diteliti. Berdasarkan pandangan Levi-Strauss ini, maka dengan mengungkap
struktur yang ada di dalam legenda-legenda itu, dapat ditemukan nalar
dasar masyarakat Cilacap.
Mengingat
adanya berbagai versi dari kedua legenda di atas, makalah ini hanya
akan mengambil beberapa versi sebagai objek, yang dianggap
merepresentasikan versi yang
lainnya dan yang mampu membentuk satu keutuhan jika dikaitkan antara
satu objek dengan objek yang lain. Legenda yang dijadikan objek adalah
legenda yang diambil dari beberapa buku kumpulan cerita rakyat. Cerita
rakyat yang dibukukan itu tetap dianggap sastra lisan sebab yang pokok
adalah bentuk naratif dan yang telah diturunkan turun temurun seperti
kata Stith Thompshon, bahwa cerita rakyat adalah all forms of narrative, written or oral, wich have come to be handed down through the years (Bunanta, 1998:1).
Objek
makalah ini adalah legenda “Kembang Wijaya Kusuma” yang disusun oleh
Daniel Agus Maryanto yang tergabung dengan cerita lain di buku Cerita Rakyat dari Laut Selatan (2006); legenda “Kembang Wijaya Kusuma” yang disusun oleh Muhamad Jaruki dan Muhamad Dasuki dalam buku Cerita Rakyat dari Banyumas (2008); dan cerita tentang “Kerajaan Nusatembini di Nusakambangan” dalam buku Pengkajian dan Penulisan Upacara Tradisional di Kabupaten Cilacap yang disusun oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah (2006).
Sebelum
melakukan analisis terhadap legenda-legenda di atas, perlu ditelusuri
secara singkat mengenai sejarah dan latar sosiologis masyarakat Cilacap
dalam subbab tersendiri sebagai berikut.
B. Sejarah dan Latar Sosiologis Kabupaten Cilacap
Secara
historis, keberadaan Kabupaten Cilacap dapat dirunut sejak kerajaan
Majapahit. Pada akhir zaman Kerajaan Majapahit (1294-1478) daerah
cikal-bakal Kabupaten Cilacap terbagi dalam wilayah-wilayah Kerajaan
Majapahit, Adipati Pasir Luhur, dan Kerajaan Pakuan Pajajaran. Wilayah
Ki Gede Ayah dan Ki Ageng Donan di bawah kekuasaan Majapahit. Wilayah
Nusakambangan di bawah kekuasaan Adipati Luhur, dan wilayah Cilacap
bagian barat di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran. Ketika
Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran jatuh ke tangan Cirebon pada 1579,
bagian barat kerajaan itu diserahkan pada Cirebon. Sementara itu, bagian
timur kemudian secara berturut-turut dikuasai kerajaan Islam Pajang dan
Mataram Islam (Tim Penyusun Sejarah Kab. Cilacap, 2006).
Melihat
sejarahnya, daerah Cilacap tidak pernah menjadi satu kesatuan
tersendiri. Keberadaannya yang terletak di batas-batas kekuasaan
kerajaan-kerajaan besar membuat daerah tersebut selalu terbagi-bagi
menjadi milik kerajaan-kerajaan tersebut. Penguasaan banyak kerajaan
yang berbeda itu menimbulkan sedikit banyak perbedaan kebudayaan dan
karakteristik. Sebab, beberapa kerajaan yang pernah menguasai Cilacap
ada yang bercorak hindu-budha, ada pula yang bercorak Islam.
Cilacap
baru dibentuk menjadi satu daerah dengan kepemimpinan sendiri pada
zaman penjajahan Belanda, tepatnya tahun 1841. Cilacap menjadi salah
satu afdeling dengan ibu kota Cilacap. Pembentukan afdeling ini
dilakukan demi mengelola pelabuhan Cilacap sebagai salah satu pusat
perekenomian kala itu (Tim Penyusun Sejarah Kab. Cilacap, 2006).
Pulau
Nusakambangan merupakan bagian dari daerah Cilacap ini. Sejak zaman
Belanda, pulau ini sudah menjadi tempat pembuangan dan/atau penjara bagi
para tahanan. Hingga kini, pulau ini lebih dikenal dibandingkan dengan
Cilacap sendiri sebagai pusat Lembaga Pemasyarakatan dengan keamanan
tinggi. Selain sebagai pusat LP, pulau ini juga terkenal sebagai cagar
alam (konon hanya di pulau inilah Kembang Wijaya Kusuma bisa tumbuh) dan
pusat ritual kebatinan masyarakat sekitarnya.
Sebagian
besar penduduk Cilacap memiliki mata pencaharian sebagai petani dan
nelayan. Dalam aspek kepercayaan, masyarakat Cilacap, mengikuti konsep
Geertz, juga terbagi menjadi dua golongan, santri dan abangan. Santri
digunakan untuk menyebut orang-orang yang taat beragama Islam, sementara
abangan digunakan untuk menyebut masyarakat yang mengaku Islam tetapi
kurang taat dalam menjalankan kewajiban-kewajiban agama Islam (Geertz,
1976: 5-6). Kelompok abangan terutama tampak pada masyarakat yang mata
pencahariannya nelayan. Mereka masih sangat mempercayai keberadaan Nyai
Roro Kidul, kemistikan Nusakambangan dan lain-lain. Sebagai perwujudan
kepercayaan itu mereka masih melakukan ritual-ritual seperti upacara
sedekah laut, selamatan, pemberian sesaji.
Penelusuran
singkat terhadap sejarah, kondisi masyarakat, mata pencaharian dan
kepercayaan, signifikan dalam pembahasan makalah ini. Aspek-aspek ini
merupakan latar belakang masyarakat Cilacap, yang disadari atau tidak,
berpengaruh terhadap berbagai pola pikir, pandangan, dan norma-norma
yang mereka ciptakan. Pengetahuan tentang hal-hal tersebut akan membantu
proses analisis terhadap nalar nirsadar masyarakat di balik
legenda-legendanya. Jadi, pengetahuan tentang latar belakang di atas,
dan relasi-relasi struktur di balik legenda-legenda mereka, akan saling
melengkapi dan menguatkan simpulan-simpulan berkaitan nalar dasar
masyarakat Cilacap dalam menjalankan kehidupannya.
C. Analisis Struktural Legenda Kembang Wijayakusuma dan Nusakambangan
Levi-Strauss
telah menawarkan konsep-konsep dan metode analisis struktural terhadap
mitos. Menurutnya, jika mitos dianggap sebagai sesuatu yang bermakna,
maka makna itu tidaklah terdapat pada unsur-unsurnya yang berdiri
sendiri, yang terpisah satu dengan yang lain tetapi pada cara
unsur-unsur tersebut dikombinasikan satu dengan yang lain (Ahimsa-Putra,
2006: 93). Unsur-unsur yang dikombinasikan ini dinamakan oleh
Levi-Strauss sebagai miteme, yakni unsur-unsur dalam konstruksi wacana
mitis yang juga merupakan satuan-satuan yang bersifat kosokbali,
relatif, dan negatif (Ahimsa-Putra, 2006: 94).
Setelah
menemukan miteme, maka miteme harus disusun baik secara sinkronik
ataupun diakronik, sintagmatik dan paradigmatik. Secara sederhana,
analisis miteme harus dikaitkan dengan miteme yang lain, bahkan miteme
dari mitos-mitos yang berbeda.
Makalah
ini, akan menganalisis tiga legenda yang berkaitan satu sama lain. Dua
legenda merupakan versi berbeda dari cerita tentang wijaya kusuma,
sementara satu legenda tentang kerajaan Nusatembini yang terletak di
Pulau Nusakambangan. Meski berbeda, tetapi ketiga legenda ini mempunyai
miteme-miteme yang terkait kepada dua hal utama, kembang wijaya kusuma
dan Nusakambangan. Oleh karena itu, analisis struktur miteme akan
dilakukan tidak hanya untuk miteme-miteme di satu legenda, tetapi juga
keterkaitannya dengan miteme di legenda yang lain. Hal ini dilakukan
demi menemukan nalar masyarakat Cilacap yang lebih luas dan lengkap.
1. Legenda Kembang Wijaya Kusuma versi Pertama
Legenda
Kembang Wijaya Kusuma versi pertama ini disusun oleh Daniel Agus
Maryanto. Mengikuti langkah metodologis yang dikemukakan Levi-Strauss,
maka pertama-tama perlu disajikan dulu urutan cerita dalam Legenda
Kembang Wijaya Kusuma ini. Cerita keseluruhan diuraikan per bagian yang
mengandung satu miteme tertentu sebagai berikut.
(1) Pada
zaman dahulu, menurut legenda, ada setangkai kembang, atau bunga yang
tidak pernah layu sepanjang musim.Bunga langka itu, konon, tidak hanya
berkhasiat menyembuhkan aneka penyakit, tetapi juga menghidupkan orang
mati. Orang-orang terdahulu percaya, asal muasal bunga ajaib itu dari
benang sari Bunga Wijaya Kusuma milik dewa Wisnu di kayangan, yang jatuh
dan tumbuh di dunia. Bunga dewata inilah yang kemudian dicari orang
untuk dijadikan jimat agar pemiliknya hidup abadi di dunia.
(2) Pada
suatu ketika, ada seorang raja dari Tanah Jawa yang bermimpi menemukan
bunga Wijaya Kusuma tumbuh di sebuah pulau karang di laut selatan. “Aku
bermimpi! Aku tak bisa mati!” teriak raja dalam tidurnya. “Ada apa,
Kanda? Siapa yang tak bisa mati?” tanya permaisuri yang terbangun karena
teriakan suaminya. “Ah, Dinda. Kita akan hidup selamanya. Aku tahu di
mana tempat Kembang Wijaya Kusuma berada,” jawab baginda yang kemudian
menceritakan perihal mimpinya.
(3) Keesokan
harinya, baginda segera memanggil semua punggawa kepercayaannya. Mereka
diperintahkan memetik Bunga Wijaya Kusuma yang tumbuh di Pulau Karang
di Laut Selatan, yang dikenal sebagai Pulau Karang Badong. “Tetapi
Baginda, bunga itu tidak bisa dipetik pada sembarang waktu,” kata
penasihat istana. “Apa maksudmu tidak bisa dipetik sepanjang waktu?”
tanya raja tidak senang. “Maksudnya bunga itu hanya bisa dipetik ketika
cuaca di langir sedang cerah dan Laut Selatan sedang tenang…” “Ah, kamu
sungguh bodoh, kalau aku menunggu saranmu, bunga itu sudah diambil
orang!” kata raja tak dapat dibantah lagi.
(4) Akhirnya,
tanpa mampu menolak perintah raja, serombongan punggawa kerajaan
berangkat meninggalkan istana menuju Laut Selatan. Sebenarnya, mereka
pergi dengan dibayangi rasa waswas dan ketakutan. Petugas istana pernah
menyatakan bahwa siapa pun yang melanggar pantangan akan mendapat
malapetaka, bukan panjang umur.
(5) Sampai
di pantai Laut Selatan, perasaan mereka bertambah kecut. Ketika itu,
ombak pantai Laut Selatan bergelora setinggi bukit. Pulau Karang Badong
yang ada di tengah samudera kadang tampak dan kadang lenyap terhalang
gelombang. Suasana yang demikian memang bukan saat yang tepat memenuhi
perintah raja.
(6) Di
tengah rasa bingungdan keputusasaan itu, mereka melihat seorang nelayan
duduk merenung sambil memandangi laut yang bergelora. Para punggawa
kerajaan itu segera menghampirinya. “Kenapa engkau duduk melamun seorang
diri di sini? Mana nelayan yang lain?” tanya para punggawa utusan raja
itu. “Oh, maafkan hamba, Gusti. Hamba hanya sedang merenungi nasib,”
jawab nelayan itu terbata-bata dan tidak mengingat pertanyaan para
utusan raja itu. “Merenungi nasib? Memangnya kenapa dengan nasibmu?”
desak para punggawa raja. “Hamba benar-benar menjadi nelayan yang tak
berguna, Gusti. Hamba seorang nelayan, tetapi tidak memiliki perahu,”
ujar nelayan itu mengiba.
(7) Mendengar
jawaban nelayan itu, para utusan raja berseri-seri wajahnya. mereka
menemukan pemecahan masalah yang dihadapinya. “Baik, aku akan mengubah
nasibmu,” kata para utusan raja itu bersungguh-sungguh. “Mengubah nasib
hamba, Gusti?” “Benar. Jangankan perahu, lebih dari itu kamu akan
memilikinya. Asalkan…” “Asalkan apa, Gusti. Katakanlah…,” sahut nelayan
itu tak sabar. “Asalkan kamu bisa mengambil Kembang Wijaya Kusuma…,”
“Kembang Wijaya Kusuma yang tumbuh di Pulau Karang Badong itu, Gusti?”
tegas nelayan itu. “Benar, apakah kamu tahu?” “Hamba tahu gusti, tetapi
sangat berbahaya sekarang ini untuk pergi ke sana,” jawab nelayan itu.
(8) Namun,
pada akhirnya, nelayan itu pergi juga karena tergiur banyaknya hadian
yang akan diterima. Dengan meminjam perahu milik saudaranya, nelayan itu
nekat menempuh ganasnya ombak Pantai Laut Selatan menuju Pulau Karang
Badong, tempat tumbuhnya Kembang Wijaya Kusuma.
(9) Nelayan
itu harus benar-benar mengerahkan segenap keberanian dan
keterampilannya agar bisa sampai ke Pulau Karang Badong. Begitu sampai,
nelayan itu cepat-cepat mendaki tebing tinggi untuk segera bisa memetik
bunga langka itu.
(10) Akan
tetapi, begitu dia berhasil memetiknya, tiba-tiba saja di sekelilingnya
sudah berdiri wajah-wajah menyeramkan. Wajah-wajah setan juga ingin
memiliki bunga dewata agar bisa hidup selamanya.“Ha…apakah kamu sudah
bosan hidup berani memetik bunga itu! Ayo serahkan bunga itu?” teriak
setan-setan berwajah seram itu. “Tidak, bunga ini untuk raja,” kata
nelayan itu sambil berlari menerobos kepungan setan-setan itu dengan
senjata parangnya.
(11) Nelayan
itu terus berlari menuju perahunya. Namun, betapa kecewanya ketika ia
melihat perahunya sudah berkeping-keping dihantam ombak di antara baru
karang. Tubuh nelayan itu langsung menggigil ketakutan membayangkan
nasibnya, mati ditelan ganasnya ombak Laut Selatan, atau dibunuh oleh
setan penunggu Pulau Karang Badong.
(12) Akhirnya,
ketika para setan yang mengejarnya semakin dekat, nelayan itu tidak
punya pilihan lagi. “Oh Dewa, tolonglah hambamu ini!” teriak nelayan itu
dan kemudian menceburkan diri ke dalam ombak yang bergulung-gulung.
Tubuh nelayan itu timbul tenggelam dalam gulungan ombak. Namun jiwa
nelayannya menjadikan dia tidak menyerah. Dengan sekuat tenaga, dia
berenang meraih sebuah papan yang rupanya berasal dari pecahan perahu
miliknya.
(13) Nasib
baik masih bersama nelayan itu. dengan memeluk erat-erat pecahan papan,
tubuh nelayan itu ditemukan oleh para punggawa dalam keadaan sekarat
pada keesokan harinya. Namun, para utusan raja itu ternyata tidak
bertanggung jawab. Mengetahui keadaan nelayan yang sekarat, para utusan
raja itu hanya mengambil Kembang Wijaya Kusuma, sementara tubuh nelayan
yang malang itu dibiarkan begitu saja.
(14) Namun,
pada akhirnya, raja dan punggawa yang telah berani melanggar pantangan
itu harus menanggung akibatnya. Satu per satu punggawa raja itu mati
tanpa diketahui sebabnya yang pasti. Sementara itu, raja sendiri menjadi
gila dan meninggalkan istana.
(15) Nelayan
yang semula begitu mengutuk para utusan raja yang telah membohonginya,
akhirnya masih dapat bersyukur. Dia bersyukur meskipun tidak mendapatkan
perahu. Jiwanya masih selamat.
(16) Lalu, bagaimana nasib Kembang Wijaya Kusuma itu? Bunga itu menghilang secara gaib, kembali kepada para dewa.
Demikianlah
cerita tentang Kembang Wijaya Kusuma versi pertama. Dari urutan cerita
di atas, dapat ditemukan beberapa episode. Di setiap episode, terdapat
relasi-relasi miteme yang membentuk struktur tersendiri. Struktur
tersebut dikatakan sebagai struktur permukaan (surface structure),
yakni relasi-relasi antarunsur yang dapat kita buat atau bangun
berdasar atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi
tersebut. Setelah menyusun struktur permukaan, maka di setiap episode
juga akan tercermin struktur dalamnya, yakni susunan tertentu yang kita
bangun berdasarkan atas struktur lahir yang telah berhasil kita buat,
namun tidak selalu tampak pada sisi empiris fenomena yang kita pelajari
(Ahimsa-Putra, 2006: 61). Dalam upaya mengintepretasi struktur dalam
(batin) inilah, faktor eksternal berupa latar belakang sosial budaya
masyarakat pencipta legenda, dalam hal ini masyarakat cilacap, menjadi
penting untuk diketahui.
No comments:
Post a Comment