Monday 4 August 2014

Kumpulan surat terbuka untuk Prabowo Subianto

Dear Pak Prabowo yang saya hormati,
Ada satu ayat Al Qur’an yang selalu jadi peneduh hati saya ketika hidup berjalan tidak sesuai dengan yang saya inginkan.
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu , padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." (QS Al Baqarah: 216)
Mungkin ayat ini juga bisa jadi peneduh hati ketika Bapak merasa lelah.
Salam hormat,
Ika Natassa
Dear Pak Prabowo,
Sudah lama saya mengamati wajah letih bapak di balik kegagahan dan fasihnya bapak berpidato.
Saya begitu trenyuh dengan gurat letih di wajah bapak. Silahkan pak saya ajak minum kopi aroma khas Bandung sambil menikmati gerimis yang sedang turun ke tanah Parahyangan saat saya menulis ini untuk bapak. Kita ngobrol ringan yang tidak berat karena hidup bapak sudah lama menanggung beban berat.
Saya tahu bahwa undangan minum kopi ini lucu wong bapak nga kenal saya. Tapi saya mau undang nurani bapak saja buat ngobrol yang bisa saya sapa dengan getaran frekuensi doa.
Pak Prabowo, saya menulis ini karena saya dihujani pertanyaan-pertanyaan dari murid-murid saya karena saya mengajarkan karakter pemimpin ditentukan dari contoh perilaku konkrit yang konsisten dilakukan sebagai kebiasaan bukan sekedar ucapan memperjuangkan moral di bibir. Alangkah gelisahnya murid-murid saya yang masih belia duduk di bangku kuliah setelah nonton wawancara bapak dengan BBC. Mereka khawatir dengan dentuman suara keras yang bapak lontarkan bisa memecahkan persatuan bangsa karena bapak sangat jelas menuding pihak Jokowi seolah musuh yang tidak berhak menang. Murid-murid saya masih ingin percaya bahwa bapak adalah negarawan yang mampu mewarisi kejernihan batin seperti para founding fathers kita yang tidak mendendam meskipun tersakiti hati karena kalah tetapi mereka sangat pemurah memberikan maaf seluas samudera batin demi masa depan keutuhan rakyat Indonesia.
Bapak sering katakan bahwa jiwa raga bapak korbankan demi bangsa Indonesia. Saya masih ingin percaya ucapan bapak itu sama tulusnya dengan tindakan bapak saat nanti menghadapi hasil akhir di 22 Juli 2014. Saya tidak perlu membahas jika nanti bapak menang karena itu sudah sesuai dengan apa yang bapak cita-citakan. Tetapi, yang harus bapak siapkan adalah bagaimana sikap kesatria agung mewujud dalam sikap bapak untuk tetap menentramkan hati para pendukung bapak jika bapak tidak ditakdirkan menjadi pemenang? Tidakah bapak sadari bahwa sikap kesatria agung seorang Prabowo akan menentukan keutuhan bangsa agar rakyat kita tidak terpecah karena berbeda pilihan? Bagi kami rakyat kecil pertaruhan bangsa ini bukan berujung di pilpres pak, tetapi pertaruhan yang lebih besar yaitu merajut ke-bhineka-an kita yang sudah lama dihianati oleh ambisi-ambisi yang kerdil.
Terlalu biasa sejarah bangsa Indonesia mencatat kisah sang pemenang, tetapi sejarah bangsa kita nyaris kekurangan kisah pejuang tangguh yang kalah namun mampu tegak legowo penuh harga diri merelakan tahta pada sang pemenang. Semoga masih ada tinta emas untuk mencatat sikap kesatria agung dari seorang Prabowo karena bangsa ini miskin negarawan sejati.
Malaikat tak pernah keliru mencatat kejujuran sehalus debu sekalipun.
Salam hangat dalam naungan gerimis,
Ifa H. Misbach
Dear Mr. Prabowo
Losing is not an option, you once said. Indeed, nobody wants to be a loser. With this spirit, you aim to be a winner. Indeed, you can be a winner. Yet, you can also be something else that is not a loser, neither a winner.
Today, we are not voting for a better presidential candidate. We are not even electing a president. Today, we are doing something more. We are making a choice for a stronger Indonesia - something that you and I are dreaming for. And we are not doing it for ourselves. We are doing this for the coming generations.
Indonesia is not to become a country of wealth, or power, or certain religion. Indonesia is not to become a country where foul plays are compromised. Indonesia is not to become a country where violence is an option.
But, Indonesia is to become a country where truth is uphold. The power of Indonesia lies in the people who hold hands firmly with each other. The wealth of Indonesia lies in the celebrated diversity. Indonesia is to become a country of conscience.
And you, Mr. Prabowo, can make it happen.
Losing is not your option. You want to win. But, you can be more than a winner. You can be someone who leads with a conscience that does not compromise with foul plays, corruption, violence, or bigotry. You can be someone who leads with a pure conscience. And, that’s when you are more than a winner. That’s when you become a victor.
Today, we all want to see you making a choice to become a victor. Because, there is no point of winning without true victory.
With respect,
Ve Handojo
Setidaknya ada dua hal tentang Anda yang saya mengerti karena: 
Saya juga, Pak Prabowo. 
Saya juga cinta Indonesia, Pak. Walaupun saya memilih sektor swasta, walaupun saya jarang bicara politik, walaupun saya tampaknya lebih peduli pada berbagai macam warna lipstik. Pengorbanan dan cita-cita saya buat tanah tempat saya lahir dan tumbuh ini mungkin tidak seberapa bila dibandingkan dengan  pengorbanan dan cita-cita Bapak. Tapi dalam dunia saya yang mungil, cinta ini sangat dalam. Tak pernah surut dan selalu berhasil membawa saya pulang, sejauh apapun saya mencoba pergi. 
Ibu saya pernah bertanya, tidakkah saya merasa berhutang pada negara ini? Karena di sinilah saya lahir dan perlahan jadi dewasa, di sinilah saya yang dulunya hanya wacana tak bernama, perlahan-lahan menjadi rencana dan kemudian betul-betul ada. Saya ingat saya tidak bisa bersuara waktu itu, karena tercekat. Mungkin itu kali pertama dalam kehidupan saya sebagai orang dewasa, saya menyadari bahwa saya teramat sangat mencintai tanah air kita ini, dengan segala lebih kurangnya, segala baik buruknya. “Merasa berhutang” mungkin bukan ekspresi yang tepat, saya hanya merasa bahwa yang telah, sedang dan akan saya lakukan dalam hidup saya sedikit banyak didasari oleh rasa syukur serta cita-cita tinggi untuk kebaikan saya dan saudara-saudara satu Ibu Pertiwi. Dalam kapasitas saya, Pak, saya juga cinta Indonesia. 
Kedua: Saya juga benci kalah, Pak. Waktu di sekolah dasar saya adalah salah satu pelari tercepat di kelas III. Hanya ada satu orang yang terkadang lebih cepat dari saya, sebut saja namanya Krisna. Seminggu sekali, setiap hari Rabu sebagai pemanasan mata pelajaran olah raga, kami akan bertanding lari mengelilingi kompleks sekolah sebanyak 3 kali. Seisi kelas harus berlari, tapi yang menambahkan bumbu kompetisi di dalamnya hanya saya dan Krisna. Ada kalanya Krisna menang, kali lain saya yang akan menang. Suatu Rabu pagi sebelum pelajaran olah raga dimulai, Krisna menjegal saya sehingga saya jatuh dan kaki saya berdarah. Karena insiden tersebut saya harus istirahat di UKS, sementara Krisna melenggang tenang. Bertahun-tahun kemudian saya baru mengerti, tangisan meraung-raung pagi itu bukan disebabkan rasa sakit di kaki, tapi di hati. 
Saya ingat Ibu Guru olah raga yang membujuk saya membiarkan perawat sekolah mengobati kaki saya sempat bertanya, “Sakit sekali, Kristy?” 
Saya menggeleng. Tapi waktu beliau bertanya lagi, “Sedih karena nggak bisa lari, ya?” saya mengangguk, saya sedih karena tidak bisa lari, saya sedih karena kalah. 
Jadi kemarahanmu, keluh-kesahmu, caci maki dan hilang kendali saat berkomunikasi dengan publik sangat saya pahami, saya juga benci kalah, Pak. 
Tapi pagi itu Ibu Guru mengatakan sesuatu yang masih saya ingat sampai hari ini, “Ada yang lebih penting daripada menang-kalah dalam berkompetisi, yaitu caranya. Apakah kamu menang dengan jujur dan bermartabat, atau tidak? Apakah kamu kalah dengan jujur dan bermartabat, atau tidak? Menang atau kalah, apakah kamu mendapatkannya dengan jujur dan bermartabat, atau tidak?” 
Saat itu saya belum terlalu paham apa itu artinya “jujur dan bermartabat.” Tapi seiring waktu saya mengerti bahwa (mungkin) jujur dan bemartabat itu berarti tetap rendah hati dan selalu ingat, baik menang atau kalah, bahwa di atas sesuatu yang tinggi masih ada yang lebih tinggi. Jujur dan bermartabat itu berarti berani mendukung pemenang yang bukan kita dalam sebuah kompetisi. Ibu guru mengajari saya bahwa: menang atau kalah memang penting, tapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita mendapatkannya. Karena emosi kita karena kemenangan atau kekalahan hanya akan terasa sesaat saja, tapi usaha kita mendapatkannya yang mendefinisikan siapa kita yang sebenar-benarnya: jujur dan bermartabat, atau tidak. 
Jadi Pak, itu saja. Saya juga cinta Indonesia dan saya juga benci kalah. Tapi di antara kedua hal itu, yang lebih besar dalam diri saya adalah cinta saya pada negara kita, cinta yang hanya akan saya berikan padanya dengan jujur dan bermartabat.
Semoga Bapak juga, semoga dalam hal ini, kita sama.
Salam, 
Kristy Nelwan
Pak Prabowo,
Ada yang terasa amblas di dalam jiwa saya pada petang hari tanggal 9 Juli, ketika Anda mendeklarasikan kemenangan Anda padahal hasil Quick Count delapan lembaga survei kredibel jelas-jelas menunjukkan pasangan Jokowi-JK unggul. Perasaan yang sama kembali melanda saat menyaksikan wawancara Anda dengan BBC, terutama ketika Anda mendiskreditkan Pak Jokowi dan sesumbar bahwa Anda akan menang.
Meskipun saya nyoblos no. 2, sejujurnya ada juga yang saya kagumi tentang Anda. Saya sendiri tidak pernah mengenal Anda secara dekat, tapi saya adalah saksi pertemanan keluarga saya dan keluarga Anda semenjak saya kecil. Saya selalu mengagumi nilai-nilai yang ditanamkan almarhum ayah Anda kepada anak-cucunya, terutama bakti kepada negeri. Dalam perjalanan hidup Anda, Anda telah menunjukkan sikap itu. Saya yakin Anda, sebagaimana Pak Jokowi, sama-sama mencintai Indonesia, meskipun dengan cara yang berbeda. Anda dan Pak Jokowi sama-sama ingin berbuat untuk Indonesia, menjadikan Indonesia lebih baik. Tapi saya tidak begitu yakin Anda menyadari bahwa Anda masih tetap bisa melakukan hal itu, sekalipun Anda tidak menjadi presiden.
Saya lalu berpikir, mungkin karena Anda terbiasa dengan dunia militer, Anda cenderung melihat hidup sebagai sebuah ajang peperangan. Bottom line Anda adalah kalah atau menang. “Losing is not an option,” kata Anda dalam sebuah wawancara. Dan tolok ukur kalah dan menang, bagi Anda, tampaknya kuantitatif, bukan kualitatif. Tak peduli jujur atau tidak, menghalalkan segala cara atau tidak, pokoknya menang.
Lalu saya teringat Iliad, epos Homeros yang beberapa tahun yang lalu menjadi rujukan utama saya ketika sedang menulis tentang Perang, Manusia dan Kekerasan. Dalam Iliad, dikatakan bahwa ‘perang’ menunjukkan bahwa setiap hubris dan ketakaburan akan menuai kejatuhannya sendiri. Karena ketakaburan, yang menganggap segala bisa direncanakan dan diciptakan, dimanipulasi dan difabrikasi, meniadakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan itu. Dan sesuatu itu, dalam Pilpres 2014, adalah nurani sekian banyak manusia, termasuk saya, yang dengan alasan masing-masing telah memilih Pasangan no. 2.
Saya sendiri memilih Pak Jokowi karena saya yakin ia jujur, tulus, adil, dan siap bekerja untuk negeri ini. Pak Jokowi juga menggugah hati saya karena senyumnya yang tak pernah lekang, wajahnya yang ramah dan tak pernah terlihat marah. Ia tak pernah sekalipun menjelek-jelekkan Anda, malah menyebut Anda “patriot dan negarawan.” Tapi ini bukan berarti saya tak menghargai kegigihan, kerja keras dan sumbangsih Anda pada negeri ini.
Iliad juga menunjukkan, bahwa kesatria sejati adalah ia yang justru bersikap rendah hati, rela menerima kekalahan, bahkan ingin terus terlibat dalam merawat kebersamaan dan memperbaiki keadaan. Apalagi jika yang dipertaruhkan adalah nasib bangsa, ketika berjuta-juta manusia menggantungkan masa depan pada Pilpres kali ini.
Di ambang kekalahan, Hektor, pangeran Troya, masih sempat memohon sesuatu kepada lawannya, Achilles. Meski ia tahu ia kalah, ia masih meletakkan kepercayaan kepada ‘rival’nya. Ia melakukan ini bukan karena ia lemah, tapi justru untuk memberi nilai pada hidup, dan juga untuk menjaga adab antarmanusia. Pada saat itu runtuh baginya “Aku” dan “Kamu.” Semua bersatu. Semua adalah ‘Kita.” Dan saat itulah pangeran itu menjadi pahlawan.
Kita semua mencintai Indonesia. Anda adalah bagian dari Indonesia. Please do the right thing.
Salam damai,
Laksmi Pamuntjak
Pak Prabowo dan Hatta terkasih,

Pilpres sudah kita lalui bersama. Hasil Hitung cepat dari lembaga survei telah memenangkan Pak Jokowi dan JK. Lembaga survei dari pengalaman  sebelum-sebelumnya tidak pernah berbeda dengan hitungan resmi KPU. Saya memahami akan sulit bagi kalian berdua menerima kenyataan pahit ini. Tapi bukankah setiap tindakan selalu memiliki resiko sekecil apapun. Apalagi kami menganggap bapak berdua orang bijaksana yang telah melewati asam garam kehidupan.

Dengan kebijaksanaan yang kalian berdua miliki, alangkah indahnya jika kami rakyat Indonesia dapat mendengar langsung kalian berdua sebagai negarawan untuk legowo menerima Pak Jokowi-JK yang memenangkan pencapresan ini.

Nama bapak berdua akan dicatat sebagai capres yang begitu harum untuk demokrasi di Indonesia.

Salam demokrasi damai nan indah,
Bernada Rurit 
Bapak Prabowo yang saya hormati,
 
Saya menulis surat ini beberapa jam setelah kekalahan Argentina dari Jerman di final Piala Dunia 2014. Tadi keduanya tampil luar biasa sebelum Argentina harus kalah di babak tambahan perpanjangan waktu. Saya melihat sebagian penonton dan beberapa pemain menangis. Pasti sangat berat untuk menerima kekalahan tersebut karena keduanya tampil luar biasa. Namun begitulah partai final seharusnya berakhir, harus ada pihak yang kalah untuk menentukan siapa pemenangnya. Karena masyarakat hanya menginginkan ada satu pemenang untuk diakui sebagai yang terbaik.
 
Di Piala Dunia kali ini saya belajar dengan menyaksikan beberapa peristiwa kekalahan yang tidak bisa saya terima dengan mudah. Mungkin bapak juga mengalami hal yang sama. Jagoan kita sama-sama kalah, Pak. Spanyol, jagoan saya yang empat tahun lalu juara dunia, pulang paling cepat tahun ini. Brasil, jagoan bapak yang juga kebetulan sebagai tuan rumah, kalah telak oleh Jerman 7-1. Karena perasaan yang sama itulah di surat ini saya hanya ingin mengajak Bapak untuk menerima kekalahan dan memberikan selamat kepada Jerman yang telah membuktikan diri menjadi yang terbaik tahun ini. Namun jika bapak masih belum bisa menerima kekalahan tersebut, masih ada kesempatan dan harapan empat tahun lagi.
 
Untuk pendukung Jerman, selamat dari saya dan Pak Prabowo.
 
Salam,
Ifa Isfansyah

Untuk Sang Jenderal

“Jenderal.”
“Ya, Nak. Ada apa?”
“Jenderal tahu kenapa Pemilu kemarin saya tidak mau memilih Jenderal?”
“Karena saya penculik?”
“Bener. Itu baru satu.”
“Karena saya pembunuh?”
“Dua.”
“Karena rekam jejak jejak saya sebagai pelanggar HAM?”
“Itu sama aja dengan dua poin sebelumnya sih. Tapi baiklah. Tiga.”
“Karena saya labil dan ngamuk-ngamuk mulu?”
“Empat.”
“Karena saya dikelilingi orang-orang brengsek dan bermasalah, menghalalkan segala cara, suka bikin fitnah yang ngawur abis, dan.. “
“Cukup, Jenderal. Saya rasa sekarang Jenderal sudah paham dan cukup banyak berkaca.”
“Ya ya ya.”
“Tapi Jenderal tahu kan? Sejahat-jahatnya Jenderal, sebangsat-bangsatnya dan seabsurd-absurdnya fitnah yang Jenderal buat demi kekuasaan, Jenderal masih punya kesempatan.”
“Kesempatan apa?”
“Kesempatan untuk memperbaiki itu semua. Kesempatan untuk bersikap ksatria. Jenderal seorang prajurit bukan? Jenderal seharusnya tahu. Kapan harus maju, kapan harus bertahan dan diam sejenak, dan kapan harus mundur. Kalau Jenderal mau berpikir jernih, ini sudah saatnya Jenderal berhenti.”
“Hmm..”
“Pejuang sejati tahu kapan saatnya berhenti, Jenderal. Cinta juga seperti itu sih.”
“Cinta?”
“Maaf, Jenderal. Saya mulai ngelantur nih.”
“Ok. Lanjutkan.”
“Dengan mengaku kalah dan bersikap ksatria, respek rakyat terhadap Jenderal juga akan sedikit membaik. Saya ulang. Sedikit. Ini tentu saja tidak begitu saja menghapus dosa-dosa Jenderal di mata mereka. Tapi setidaknya, Jenderal akan diingat sebagai ksatria. Bukan pengecut yang suka marah-marah dan ujung-ujungnya kabur.”
“Baik. Kamu tunggu di sini sebentar ya. Saya segera panggil Tim Mawar buat jemput kamu sekarang.”
“Aduh, Jenderal. Jangan sensi mulu ah.”
***
Gandaria, 14 Juli 2014
Ikal @monstreza



Dear Pak Prabowo, 
Bulan Mei tahun 1998, kala itu saya berumur 21 tahun. Saya tinggal hanya berdua dengan Ibu saya. Ibu meminta saya masuk ke kamar dan mengepak baju-baju dan alat mandi. Saya menengok ke luar jendela, di kejauhan terlihat asap naik dari arah pasar minggu. Jalanan di depan Rumah lengang, tak seperti biasanya.
Di telpon Ibu saya terdengar meminta tolong kepada temannya, di televisi segala kekacauan tergambar. Saat itu, 21 tahun saya lahir, besar, bangga, dan berbakti sebagai orang Indonesia. Baru kali itu saya menyadari benar, bahwa bagi banyak orang saya disebut: orang Cina, dan bahwa sebagai perempuan Cina, saat itu saya harus merasa terancam. 
Kami, Ibu saya dan saya, menyelinap dan pergi bersembunyi di Rumah seniman Nyoman Gunarsa, di desa Klungkung, Bali. Setiap pagi tergopoh-gopoh Bu Nyoman turun ke pavilion yg mrk pinjamkan ke kami untuk menyampaikan berita-berita dari Jakarta. 
Kata orang, semua itu gara-gara Bapak. Sejak saat itu, setiap saya mendengar nama Bapak, ada rasa dingin yang menciutkan hati. 
Sedetik detak saya seperti terhenti.
Saya pergi sekolah dan tinggal di Australia selama 7 tahun setelah itu. Di sana saya sempat ditantang, dikata-katai, dibilang pembunuh, diancam, dan dilarang pergi kuliah selama tiga hari, karena pemerintah Indonesia menyiksa saudara kita di Timor-Timur. Katanya: karena saya orang Indonesia. 
Ironisnya, saya juga sempat dimaki-maki oleh seorang mahasiswa Taiwan, karena saya berwajah Cina tapi tidak bisa berbahasa Cina. Mati-matian saya berusaha menerangkan: saya orang Indonesia!! 
Walau di negara saya, saya dibilang orang Cina. 
Sekarang saya sudah kembali ke Indonesia. Bekerja, berbakti, sekuat tenaga menyumbangkan diri untuk majunya budaya Indonesia.
Saya cinta Indonesia. 
Saya melihat mulai terbangun kebebasan berekspresi yang kritis dan sehat di Indonesia. 
Saya punya harapan besar pada bangsa saya.
Pak Prabowo, saya takut pada Bapak. Saya benci mental orde baru. Saya takut sekali apabila negara ini dipimpin Bapak, kita kembali ke tekanan-tekanan itu.
Tapi ketika berkali-kali saya melihat, menonton, mengamati bapak di televisi. Di antara orasi Bapak yang berkobar-kobar, ketika diam, saya melihat ke’manusia’an dalam diri bapak. Your mortality that I never contemplated. 
Jujur, di mata saya, Bapak kadang kelihatan seperti anak kecil yang resah. 
Pak, kita butuh pemimpin yang sungguh-sungguh mampu mendengar dan terlibat dengan rakyat yang sehat. Yang kita percayai, hormati, bukan kita takuti. Yang memimpin bukan memanipulasi. 
Saya sudah tidak terlalu takut lagi sama Bapak.  Hati saya sudah tidak menciut dengar nama Bapak. 
Saya merasa surat-surat ini mungkin tidak akan mengubah apa-apa, tidak akan mengubah ambisi ataupun usaha-usaha untuk bapak menjadi presiden. 
Mungkin juga tidak dibaca. 
Tapi andai dibaca, saya ingin bilang: Prove me wrong, Pak. Buktikan bahwa ketakutan saya akan bapak tidak perlu ada. 
Bagaimana pun caranya. 
Mia Maria 
Pak Prabowo yang terhormat,
Saya adalah salah seorang warga negara biasa yang juga mencintai bangsa ini seperti Bapak dan kebetulan pernah menjadi salah satu saksi sejarah bersama ribuan mahasiswa yang turun ke jalan di  tahun 1998 sehingga menyadari sepenuhnya bahwa sistem elektoral yang demokratis dibandingkan di era ORBA bukanlah sesuatu hal yang jatuh dari langit melainkan hasil perjuangan banyak rakyat Indonesia yang merindukan perubahan. Dan saya menulis surat pendek ini karena masih percaya bahwa harapan akan perubahan yang digaungkan waktu itu masih menyala di hati rakyat Indonesia yang sebagian telah memberikan amanah itu di pundak Bapak tanggal 9 Juli yang lalu.
Pak Prabowo pernah mengibaratkan Pemilihan Presiden kali ini ibarat perang Bharatayuda antara satria Pandawa dan Kurawa. Pak Prabowo mendaku diri ibarat Pandawa yang merupakan satria yang baik, luhur dan berbakti pada negara, sementara itu ada Kurawa yang merupakan kumpulan satria yang jahat, dan licik yang menghalalkan segala cara untuk meraih jabatan.  Bapak memang  tidak menyebut siapa Kurawa itu tapi kira –kira publik tahu siapa yang Bapak maksud.  (http://politik.news.viva.co.id/news/read/510686-prabowo—pilihlah-satria-pandawa—jangan-kurawa dan http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/06/08/140726/2602339/1562/prabowo-kami-satria-pandawa-kurawa-cirinya-mencla-mencle)
Saya sungguh percaya sebenarnya tidak ada satupun rakyat Indonesia tidak ingin dipimpin calon presidennya (dan para pendukungnya) berwatak seperti Kurawa yang jahat dan licik, sehingga sebenarnya pernyataan itu kuranglah elok muncul dari tokoh sekaliber Bapak. Tetapi barangkali ini semacam strategi komunikasi Bapak untuk meraih dukungan di publik.
Namun yang lebih saya risaukan adalah mengibaratkan Pilpres ini dengan perang Bharatyudha. Perang saudara dalam epos Mahabharata dinarasikan berlangsung begitu dramtis, sengit dan sekaligus keji. Perang yang juga diwarnai dalih dan klaim membela kebenaran, antara kekuatan “putih” dan “hitam. Perang yang pada akhirnya berujung kehancuran yang dahsyat. Dan saya kira persis di sinilah letak mengapa peradaban manusia kemudian menilai perang bukan lagi metode  menyelesaikan persoalan yang tepat karena bukan hanya soal biaya material namun juga biaya sosial yang besar. Kemudian sejarah mencatat berkembangnya berbagai sistem tata negara yang diharapkan bisa lebih “manusiawi” termasuk demokrasi elektoral yang sekarang kita jalani.
Saya tidak tahu bagaimana pendapat Bapak, tapi saya cukup miris melihat begitu banyak kampanye negatif dan bahkan kampanye hitam selama Pilpres kemarin yang menurut saya sedikit banyak meretakan rajutan kebangsaan kita.  Saya percaya bahwa banyak rakyat Indonesia juga berharap hal – hal seperti itu segera diakhiri. Siapapun nanti yang kelak terpilih menjadi Presiden, pihak yang tidak terpilih perlu sikap bak seorang ksatria yang berbesar hati menerima kenyataan.
Pak Prabowo yang satria,
Dalam Mahabharata ada seorang tokoh bernama Dursilawati yang merupakan satu-satunya perempuan dari pihak Kurawa. Dalam peperangan Bharatyudha,suaminya Jayadrata gugur di  tangan Bima. Dursilawati meski terpukul mendengar kematian suaminya dia tetap memilih tegar dan dia tidak mengobarkan kebencian dan mengajarkan dendam. Bahkan dia justru memprakarsai silaturahmi anak-anaknya dengan keluarga Pandawa. Dursilawati memang bukan tokoh utama, tapi kemuliaan hatinya  patutlah kita teladani dan tampaknya untuk memperkuat budaya demokrasi yang sedang kita rawat termasuk dalam Pilpres kali ini.
Kalau tadi dikatakan bahwa Pandawa adalah simbol para satria yang baik dan luhur, tentulah para Pandawa dapat juga berbesar hati seperti Dursilawati yang seorang Kurawa.
Pak Prabowo yang budiman,
Demikian surat singkat saya, maaf kalau ada kata – kata yang salah dan beribu terima kasih saya sampaikan.
Salam takzim,
Arifadi Budiarjo
Dear Mr. Prabowo Subianto,
First of all, please allow me to write in English. I learned that your English is excellent, to the point that you even dream in English (at least that’s what I read in a magazine). And also, I try to stand out from the rest of the letters. Just trying to be anti-mainstream pak, being a “hipster”. In case you have not been following the silly trends among youth, being anti-mainstream is now considered cool :D
Okay, enough with the rambling.
I am writing to you as a boy, not as a man I am now. I am writing to you as a 11-year old boy more than 2 decades ago. I was a little boy who loved military stories, war movies, and articles on elite forces (still do!) I remember I was so proud of your past unit Kopassus. I always thought, hell yeah, this is MY country’s badass elit fighting unit. I remember I was so proud of it, seeing it as good as my other childhood warriors: the Navy SEALs, the Army Delta & Rangers, the SAS, etc. And I had this naive belief that the unit will have anything thrown at them for breakfast, lunch, and dinner. 
I know I was in love with the finest warriors of the country. 
And then my heart got broken in 1998. When I found out that my childhood idol turned against a bunch of students, armed with nothing but naive idealism and innocent dream of a more democratic country. It wasn’t so much of politics that broke my heart. It was that my idol fighting unit used their deadly craft against their own people, not foreign enemies.
From then on, love turned to fear.
I am writing to you as a man now, who still carry that fear, and a piece of that broken heart. And this is my only plea: that whether you become elect president or not, please do not hate or hurt us the people of Indonesia. Because a spark of admiration remains within me, just a tiny boyish flame of adoration of the finest warriors this great country has made. And fine warriors live by their code of honor. To fight tyranny, and to protect the helpless; and not the other way around.
I wish you health and happiness ahead pak. Godspeed.
Still a fan of Kopassus,
Henry Manampiring
Kepada Bapak Prabowo di tempat.
Salam sesama pecinta Indonesia,
Melihat interview bapak di BBC Indonesia, saya berkesimpulan bahwa Bapak sangat ingin menjadi Presiden Republik Indonesia. Saya mah heran, Bapak kok mau sih jadi Presiden Indonesia saat ini? Kenapa Bapak begitu gigih mau jadi presiden, sehingga "losing is not an option" seperti yang Anda ucapkan?
Padahal jadi Presiden Indonesia sekarang ini berat menurut saya. Korupsi dari kekuasaan tidak lagi semudah dulu. KPK mendapat banyak dukungan dan laporan dari masyarakat, sehingga kalau Bapak dan kroni ingin mendapatkan keuntungan dari kekuasaan sekarang lebih sulit. Beda dengan zaman besan Bapak dulu, yang begitu nyaman bisa mensejahterakan koalisinya. Jadi, kalau motivasi Bapak itu untuk keuntungan, saya sih ragu zaman sekarang bisa semudah itu.
Rakyat sekarang lebih melek politik. Bahkan hingga ke figur publiknya. Artis, musisi, sutradara, komedian, semua sekarang bersuara mengenai politik. Semua mengawal jalannya pemilu dan penghitungannya di kelurahan-kelurahan. Jadi, kalau mau menipu dan mengatur masyarakat dengan undang-undang pun sekarang sulit. Dikit-dikit masyarakat kerjanya bikin petisi. DPR mau cari selamat lewat revisi UUMD3 pun keburu ditolak oleh masyarakat. Jadi, kalau motivasi Bapak itu untuk dapat kekuasaan, saya juga ragu zaman sekarang bisa semudah itu.
Sekarang warga sudah tidak bisa diatur dengan kekerasan seperti dulu, Pak. Dengan adanya sosial media yang mulai merata penggunaannya ke berbagai daerah, masyarakat mulai teredukasi soal hak-hak mereka sebagai warga negara. Orang desa mulai melek soal Hak Asasi Manusia. Para petani di Rembang tahu haknya untuk melawan kooptasi korporat yang dibantu oleh aparat pemerintah, yang ironisnya, dibayar oleh pajak mereka sendiri. Bahkan hanya dengan sosial media, kita bisa menggerakan massa hingga puluhan ribu berkumpul di GBK, tanpa atribut partai apa pun. Partisipasi, bukan lagi mobilisasi. Jadi kalau motivasi Bapak itu untuk mengatur masyarakat, saya sih ragu zaman sekarang bisa semudah itu.
Kalau ternyata niat Bapak untuk berbakti kepada rakyat, masih agak aneh menurut saya. Karena rakyat sudah memilih. Paling tidak, kurang lebih 54% rakyat sudah memilih, bahwa mereka ingin rival Bapak yang berbakti. Meskipun ada yg berbeda di pilpres sekarang ini menurut saya. Ini bukan lagi kemenangan seorang calon atau golongan tertentu, tapi ini lebih ke kemenangan rakyat. Dengan gigihnya rakyat menjalani pemilu, mengawasi jalannya suara dan berkurang drastisnya golput, buat saya sih ini jadi pemilunya rakyat. Jadi, kalau motivasi Bapak untuk berbakti pada rakyat, tapi tidak mau menerima suara rakyat, ya agak aneh juga.
Jadi, buat saya sih aneh, Bapak begitu gigihnya ingin jadi presiden dari Indonesia yang seperti sekarang ini. Tidak ada untungnya kalau menurut saya, Pak. Apalagi Bapak sampai membentuk koalisi dengan para elit politik oportunis, yang hanya akan loyal pada Bapak selama koalisinya masih menguntungkan. Betapa tidak enaknya jadi Presiden, tapi kemudian dirongrong dan ditagih hutang kepentingan oleh para koalisi Bapak ini.
Ada perbedaan tipis antara gigih dan ngotot. Kalau keinginan menjadi Presiden mulai memakai ‘otot’, maka saya perlu mempertanyakan ulang motivasi Bapak sebagai Presiden. Karena di atas kertas, jadi Presiden Indonesia sekarang adalah pekerjaan yang paling tidak enak menurut saya.
Seharusnya Bapak biarkan saja rival Bapak menerima jabatan itu, biar rival Bapak yang kerepotan menghadapi jutaan warga Indonesia. Bapak bisa ongkang kaki di kediaman Bapak sambil ngangon kuda. Kayaknya opsi yg terakhir lebih enak deh, Pak…
Sebenarnya banyak sekali yang ingin saya bicarakan dengan Bapak berkaitan dengan masa lalu kelam Indonesia, siapa yang bertanggung jawab atas tertembaknya teman SMP saya, Hafidin, di tragedi Trisakti, dll. Saya yakin bukan hanya Bapak yang terlibat di dalamnya, tapi saya juga yakin bahwa Bapak mampu menguak kebenaran untuk kasus-kasus ini.Tapi, saya mencoba legowo dan berpikir bahwa pertanyaan-pertanyaan itu tidak kondusif untuk suasana sekarang, saat Indonesia sedang di ujung tanduk. Mungkin di lain kesempatan saya akan bertanya lagi kepada Bapak. Untuk sekarang, saya akan legowo. Semoga Bapak juga bisa legowo. Seperti meme yang sedang hits sekarang, Pak. Let it Go, Wo…
Edy “Khemod” Susanto.
Kepada yang saya kagumi Pak Bowo,

Ditengah saya mendengarkan banyak suara sumbang tentang bapak entah kenapa saya seperti melihat bapak seperti sosok guru yang nyata,sosok guru yg memberikan ujian kepada semua orang terutama kepada Presiden pilihan saya Bapak Joko Widodo.

Pak Bowo yang saya hormati, saya melihat ujian yang anda berikan kepada presiden saya adalah ujian yang terbaik untuk menjadikan presiden pilihan saya siap memimpin indonesia, ujian yang terbaik untuk kami pendukung bapak Joko Widodo mengerti arti kerja sama dan gotong royong memberikan perlawanan terhadap ujian bapak dan tentunya ujian terbaik untuk rakyat indonesia secara keseluruhan mengerti arti kata persatuan Indonesia.

Terima kasih, Pak, anda sudah memberikan ujian yang paling hebat untuk presiden pilihan saya bapak Joko Widodo, Ujian yang paling luar biasa sebelum Presiden saya memimpin indonesia.

Seumur hidup saya akan selalu mengingat pelukan bapak kepada Presiden pihan saya saat debat capres yang ke dua, saat anda setuju dengan jawabannya, dan seumur hidup pula saya akan mengingat Bapak adalah pemberi ujian yang terhebat kepada Indonesia.
Hormat saya,
Ringgo Agus Rahman
Dear Pak Prabowo,
Nama saya Bernard Batubara. Saat ini usia saya 25 tahun. Saya baru saja berulang tahun 5 hari yang lalu, tepat pada tanggal 9 Juli, ketika pemilihan presiden dilakukan dan orang-orang beramai-ramai datang ke tempat pemungutan suara untuk memilih pemimpin mereka. Saya tidak datang ke tempat pemungutan suara. Bukan saya tidak ingin memilih. Saya sudah memilih satu di antara dua dan mohon maaf, itu bukan Bapak. Saya tidak datang ke tempat pencoblosan karena saya anak rantau dan pemalas. Saya tahu, jika teman-teman saya tahu bahwa saya tidak mencoblos karena malas mengurus surat ini-itu (padahal di social media semuanya sudah disediakan informasi tersebut) mereka pasti akan mengomeli saya. Tidak apa-apa. Selain karena malas, juga karena saya kurang tidur dan merasa tidak enak badan. Saya jatuh sakit pada hari yang sama saat saya berulang tahun. Pada hari yang sama saat pemilihan presiden.
Apakah arti sakit saya itu, Pak? Saya pun tidak tahu. Mungkin memang karena saya kurang istirahat dan mengerjakan banyak hal. Mungkin juga karena beban pikiran setelah menyaksikan bagaimana teman-teman saya saling menyindir karena mereka memilih calon presiden yang berbeda. Saya melihat sendiri bagaimana politik membuat teman-teman saya yang tadinya nongkrong bareng, sekarang tampak bermusuh-musuhan. Politik telah sampai pada tahap yang tidak pernah saya bayangkan atau lihat langsung sebelumnya: memecah-belah pertemanan.
Pak Prabowo, saya adalah orang yang tidak suka membicarakan politik, namun saya percaya bahwa perubahan besar di sebuah negara hanya bisa dilakukan lewat politik. Aneh, bukan? Ya, harap maklum Pak karena saya seorang Cancer, di dalam diri saya penuh kontradiksi. Saya bukan apolitis, saya hanya belum melihat ada sosok-sosok yang menjanjikan di dunia politik di negara kita tersayang ini. Saya mencintai Indonesia, Pak. Sejak kecil saya memendam keinginan untuk pergi keluar negeri. Saya ingin ke London karena saya penggemar cerita Harry Potter karangan J. K. Rowling. Tapi kalau ditanya saya ingin menghabiskan sisa hidup saya di mana? Saya akan menjawab: Indonesia.
Saya menyayangi Indonesia dan saya tidak ingin Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang buruk. Bagaimanakah pemimpin yang buruk itu, Pak? Menurut saya, pemimpin yang buruk adalah pemimpin yang ditakuti. Kalau begitu, bagaimana dong pemimpin yang baik? Pemimpin yang baik, menurut saya, adalah pemimpin yang disayangi, tentu saja oleh orang-orang yang ia pimpin.
Belum pernah saya menyimpan harapan besar (sekaligus ketakutan besar) sebelumnya pada negara ini, lebih tepatnya pada sosok-sosok yang akan memimpin negara ini. Pak Prabowo, salah satu kandidatnya. Saya bilang tadi saya menyimpan harapan kecil akan ada sosok yang dapat mengubah Indonesia jadi lebih baik, yang membuat anak-anak muda peduli pada politik. Namun, meskipun kecil, Pak, saya masih menyimpan harapan itu. Harapan itu membesar saat saya meniup lilin ulang tahun tepat pada pukul 00.00 WIB memasuki tanggal 9 Juli 2014. Kekasih saya memberikan sebuah kue tart berwarna cokelat, dan ia menyuruh saya mengucapkan permohonan.
Salah satu permohonan itu, Pak Prabowo, semoga Indonesia tidak dipimpin oleh seseorang yang melahirkan bibit-bibit ketakutan di dalam diri rakyatnya.
Bernard Batubara
Pak Prabowo yang baik,
 
Begini Pak, saya menggunakan peristiwa Pilpres 2014 ini sebagai ruang pembelajaran buat anak-anak saya. Lewat sosok Bapak, anak-anak saya belajar untuk mengenal sikap ksatria dan cinta tanah air yang Bapak selalu tunjukkan kepada semua orang.
 
Anak-anak selalu butuh contoh nyata, Pak, agar bisa menjadi manusia dewasa yang berkarakter. Mereka tidak bisa berkembang kalau hanya mengunyah kata-kata bermoral yang tak ada bukti. Dan, sungguh, anak-anak saya bisa melihat bahwa Bapak memiliki jiwa tangguh yang gagah berani.
 
Sejak Pilpres, dengan senang hati saya menjelaskan kepada mereka tentang sifat-sifat Bapak yang layak ditiru mereka. Contohnya, ketika Bapak Prabowo dan Bapak Jokowi beradu argumentasi di televisi, anak-anak saya juga belajar tentang mengenal arti oposisi, memahami pidato, dan bagaimana mengakui kehebatan kubu lawan. Terima kasih untuk semua contoh-contoh itu. 
 
Jika saya bisa meminta satu hal lagi dari Bapak, saya minta agar Bapak menyediakan waktu untuk merenung bahwa semua tindak tanduk Bapak adalah suri teladan bagi anak-anak Indonesia. Sangat indah jika anak-anak saya bisa belajar bagaimana seorang Prabowo Subianto bisa mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingannya. Sudah terlalu banyak keegoisan dan kesemena-menaan di negara ini yang diperlihatkan oleh banyak petinggi; jangan sampai anak-anak tidak mengenal arti pengorbanan, rendah hati, kejujuran, empati, kebersamaan, peka, dan cinta damai. Ayo, Pak, tunjukkan semua itu demi masa depan anak-anak Indonesia :)
 
Surat ini saya tutup sampai di sini saja. Oya, anak-anak saya titip salam hormat untuk Bapak.
 
Teriring doa dari saya,
Clara Ng   
Kepada yth Bapak Prabowo


Saya berharap Bapak malam ini tidur dan bermimpi dikunjungi oleh 3 malaikat: malaikat masa lalu, malaikat sekarang dan malaikat masa depan.

Malaikat masa lalu akan membawa Bapak ke masa kecil.  Untuk melihat segala kejadian baik dan buruk yang menimpa Bapak saat kecil sehingga menjadi karakter yang seperti sekarang ini: ambisius, suka olah raga kuda,  sportif, impulsif dan banyak lagi.

Malaikat masa kini akan membawa Bapak melihat apa yg sedang terjadi di pelosok Indonesia akibat ulah Bapak dan kolega Bapak secara langsung dan tidak langsung. Terjadi perpecahan di masyarakat, masyarakat sangat miskin, bumi di rusak habis-habisan dan kolega Bapak semakin kaya akibat korupsi dibiarkan terjadi dimana-mana.

Malaikat ketiga  akan membawa Bapak ke masa depan dan Bapak bisa melihat kehancuran bangsa ini akibat Bapak terlalu terpengaruh dan mendengarkan kolega-kolega Bapak yang sangat ambisius, keras hati, rakus, egois hanya memikirikan memperkaya diri sendiri, tidak rasional dan tidak sportif.

Semoga saat bangun tidur, Bapak terbuka hatinya. Semua kekerasan hati Bapak selama ini yg dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga. atasan dan kolega, tidak ada gunanya untuk Bapak sekeluarga dan untuk seluruh rakyat Indonesia.

Karena saya percaya lebih mudah berbuat kebaikan dibadingkan berbuat kejahatan

Salam damai Indonesia,

Chitra Subyakto
Kepada Bapak Prabowo,
Saya adalah Ibu dari seorang anak yang bercita-cita ingin jadi Presiden. (Padahal melihat gaya saya sebagai seorang Ibu, saya pikir anak saya bakal jadi anak band ;p). Menjadi Presiden adalah cita-cita yang ia ucapkan dari usianya 5 tahun hingga kini beranjak 13 tahun, dan sejauh ini ia masih teguh dengan cita-citanya untuk menjadi Presiden Republik Indonesia di masa depan.
Dul, panggilan kesayangan saya buat dia.
Si Dul anak yang manis, baik hati, sederhana, selalu berpikir positif, dan nyaris tidak pernah berpikir atau berkata buruk. Dia sangat suka ilmu pengetahuan, khususnya Sejarah dan Politik. Jika anak-anak suka bermain, dari kecil hari-hari si Dul dihabiskan untuk membaca, membaca, dan membaca. Baik buku ataupun browsing internet. Selama pilpres ini si Dul rajin menonton beritanya di televisi dan membacanya di media cetak maupun internet.
Melihat antusias si Dul terhadap pilpres ini membuat saya terusik.
Mungkin kita lupa, dan para pemimpin mungkin juga lupa, selalu berpikir politik-negara itu urusan orang dewasa. Mungkin kita tidak menganggap dan mengabaikan anak-anak karena berpikir “Ini bukan urusan anak-anak. Tugas anak adalah sekolah, belajar yang bener.” Mungkin kita alpa, belajar bukan cuma di sekolah. Bahwa saat ini anak-anak lewat media televisi, cetak, dan internet sedang membaca dan menonton sikap, prilaku, tindakan, para pemimpin negara. Anak-anak sedang belajar bukan dari teori-teori yang ada di buku-buku tetapi melihat langsung dan real proses bagaimana menjadi seorang pemimpin di negara ini.
Si Dul mengamati semuanya, mempelajari semuanya. Dan anda-anda para pemimpin adalah contohnya. Si Dul sedang belajar bagaimana pesta demokrasi sedang dirayakan di negara ini. Bagaimana seorang pemimpin nantinya akan terpilih di negara ini dengan proses yang baik, benar, jujur, dan berdasarkan suara rakyat terbanyak.
Tetapi apa yang disaksikannya sungguh mengenaskan. Isue-isue negatif merebak tak terkontrol. Isue sosial, suku, agama dijual demi kepentingan politik. Mungkin sebagai orang dewasa yang sedang fokus pada kursi kekuasaan tidak terpikir bahwa issue-issue SARA itu juga akan terekam dikepala anak-anak. Dan tanpa disadari mereka sedang menanamkan bibit-bibit kebencian di otak polos anak-anak. Sungguh mengerikan.
Saya lalu berpikir jika si Dul mau jadi Presiden apakah dia sanggup nantinya menghadapi gempuran demi gempuran yang sedemikian kejam dan kotornya? Bagaimana nasibnya, ya? Dia terlalu baik, terlalu sederhana, terlalu jujur, terlalu santun, dan sopan, (Sekilas si Dul mirip sekali dengan Jokowi, ya? J), memangnya ada tempat bagi orang seperti dia untuk menjadi Presiden di negara ini?
Jadi saya bertanya ulang pada si Dul:
Dul, ngeliat betapa mengerikannya untuk menjadi Presiden, anda yakin tetap mau jadi Presiden?
Saya pikir awalnya si Dul akan berpikir dulu setelah akhirnya ia menyaksikan proses pilpres yang mengerikan ini. Tapi Si Dul menjawab dengan yakin:
“Aku yakin. Karena aku tetap percaya orang baik, jujur, sederhana, berani menegakkan hukum dan keadilan, dan memikirkan kepentingan rakyat, bisa jadi Presiden Indonesia.”
Jangan sekedar menilai itu cuma jawaban polos atau klise dari anak-anak. Jangan. Jangan juga anggap itu cuma jawaban sotoy dari anak kecil yang gak ngerti apa-apa. Mereka mungkin muda secara usia tetapi mereka tidak bodoh. Itu adalah apa yang si Dul yakini sebenar-benarnya tentang Presidennya nanti. Keyakinan yang harus dimiliki oleh semua anak di Indonesia. Keyakinan yang harus kita sebagai orang dewasa yang waras buktikan dan wujudkan.
NB: Tanpa harus menyebut nama, dari kriteria itu Bapak pasti mengerti kan siapa calon Presiden yang si Dul maksud? :)
UPI.

Pak Prabowo Subianto ysh,
Saya menulis surat ini dengan merenungkan satu pertanyaan, “Jika situasi terbalik, apa yang saya ingin dengar dari Bapak atau para pendukung Bapak?”
Yang jelas bukan cemooh. Bukan pula suka ria berlebihan. Melainkan uluran tangan.
Jika situasi terbalik, saya ingin mendengar bahwa Bapak menjamin agar sistem pemerintahan Bapak berjalan dengan transparan; membuka kendali langsung dari masyarakat, dan menjaga rasa aman dalam pelaksanaannya. Sehingga tidak ada yang benar-benar kalah. Pemerintahan berikut akan tetap berjalan dengan kesadaran untuk bertanggung jawab pada seluruh Indonesia; bukan pendukungnya saja.

Saat Bapak menyampaikan bahwa kalah bukanlah pilihan, saya rasa cocok kalau konteksnya untuk demokrasi. Pilpres 2014 kemarin menyaksikan peningkatan partisipasi di berbagai pelosok Indonesia. Bahkan di luar negeri, seperti Singapura (meningkat 70%, Sindo News), Hongkong (100 persen, RRI),  atau Malaysia (400 persen, RRI). Akan sangat elok jika partisipasi ini terus berlanjut hingga taraf pelaksanaan pemerintahan. Bukan pesta lima tahun semata. Itu akan jadi kemenangan kita semua.
Siapa pun yang menjadi presiden, saya berharap ia akan mengulurkan tangan dan mewujudkan peningkatan partisipasi warga dalam pemerintahan. Sehingga semua merasa aman dan tidak sia-sia untuk menyampaikan kritik, uneg-uneg, apresiasi, atau sekadar salam sayang untuk selamat bekerja.
Siapa pun pemenangnya, sebagai salah satu wujud tindakan nyata, saya harap akan mendukung uji materi revisi UU MD3 yang melanggar semangat peningkatan partisipasi tersebut. Karena suara yang dititipkan kami, sebagai warga negara, bukanlah semata bahan negosiasi antar elit politik, melainkan harapan untuk Indonesia.


Hormat saya,

Isman H. Suryaman
Untuk Bapak Prabowo,
Saya belum pernah bicara dengan Bapak, mungkin karena itu bagi saya tidak terlalu mudah menulis surat ini. Karenanya saya ingin mulai dengan cerita saja: Saya sudah menyaksikan sendiri sebagian kecil keindahan Indonesia, dan bertemu dengan mereka yang adalah bagian penting darinya. Anak-anak Indonesia.  Mereka berlarian di pesisir Aceh, berjalan pulang sekolah di kaki gunung di Flores, Bermain bola perbatasan Timor, berlarian di pinggiran kebun kelapa sawit di Lebak atau Jambi.
Mereka adalah orang-orang yang jarang terdengar, Mereka tidak datang dari keluarga terpandang atau kaya raya. Kebanyakan dari mereka orang biasa, orang sederhana.
Di tahun pemilihan presiden ini muncul dua calon yang harus diakui adalah putra terbaik yang lolos dalam sistem seleksi politik kita. Calon pertama adalah Pak Prabowo sendiri, anak ekonom terpandang,  mantan petinggi militer, pengusaha, pendiri partai politik. Calon kedua adalah contoh kebanyakan orang Indonesia yang banyak saya temui dalam perjalanan saya itu, Bapak Joko Widodo. Jokowi orang biasa, tidak terlalu punya citra umum pemimpin di Indonesia, ia kurus dan berpenampilan sederhana serta datang dari keluarga biasa di Solo. Namun, ia melesat sebagai pengusaha, walikota dan gubernur yang dicintai rakyatnya.
Pak Prabowo, walau saya adalah pendukung Jokowi, saya cukup tersentuh oleh sikap bapak  dalam beberapa bagian debat capres di televisi nasional. Bapak menunjukkan sikap terbuka, hangat memeluk Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla, bahkan mengungkapkan akan  bersedia menerima apapun hasil dari pemilihan presiden. Prabowo dan Jokowi adalah putra terbaik, wajar saja bersikap tetap saling hormat dalam sebuah kontes pimpinan nasional.  Kita telah melewati masa kampanye dan pemilihan yang berjalan baik dan relatif damai.
Nah, pada pengumuman resmi 22 Juli 2014 nanti, hanya dua kemungkinan yang bisa terjadi bagi kedua calon: kalah atau menang. Tentu bapak menyadari ini saat memutuskan untuk maju sebagai calon presiden.
Saya tutup surat ini dengan mengirimkan kepada bapak sebuah lagu yang tentu Bapak kenal: Rayuan Pulau Kelapa karya Ismail Marzuki. Lagu yang mengingatkan keindahan Indonesia, yang akan lebih banyak Bapak nikmati sambil berbakti pada bangsa dengan berbagai kelebihan yang yang bapak miliki, jika rakyat ternyata memilih Bapak Joko Widodo sebagai presiden RI.
Demi masa depan, demi anak-anak Indonesia.
Demikian Pak Prabowo.
Salam,
Riri Riza
dear pak prabowo,
jujur saya bingung saat mulai menuliskan surat terbuka ini.
bingung harus mulai dari mana.
terlalu banyak yang ingin saya ungkapkan.
apa yang saya baca dan dengar membuat saya yakin bahwa bapak adalah sosok yang cemerlang di perjalanan kehidupan bapak.
dan bahwa bapak juga sangat mencintai negara ini.
tapi apa yang saya lihat, dengar dan rasa saat pemilihan ini dimulai membuat saya menyangsikan ketulusan cinta bapak.
menurut saya, cinta yg tulus itu tidak akan pamrih. tidak akan meminta balas jasa. bagai cinta ibu kepada anaknya.
ibu yang akan selalu berusaha membuat anak2nya bahagia. sejahtera.
maafkan bila saya menyangsikan bagaimana cara bapak mencintai bangsa ini.
tapi saya yakin, kalau ketulusan itu ada, bapak tidak akan ragu untuk bekerja sama dengan siapapun dalam membangun negara ini.
salam hormat saya,
Nina Tamam
Pak Prabowo yang saya hormati,
Tanggal 9 Juli 2014 tempo hari saya tidak memilih Bapak dan Pak Hatta Rajasa. Bukan karena kata orang lain atau dijanjikan sesuatu apalagi atas dasar rasa benci. Namun karena panggilan nurani…
Apa alasannya?
Saya yakin Bapak seorang patriot dan negarawan. Saya juga yakin sebutan ini juga pantas disandang oleh lawan Bapak, Jokowi. Saya paham Bapak hendak mengusung perubahan. Saya tidak paham hal tersebut bisa terjadi tanpa memutus kait dengan kelompok-kelompok yang mewakili status quo. Saya percaya Bapak akan memperjuangkan Indonesia lebih baik. Saya tidak percaya orang-orang pilihan koalisi Bapak bisa menjadikan Indonesia lebih baik.
Pak Prabowo yang hebat,
Walaupun 8 lembaga QC bereputasi sudah menyatakan Pak Jokowi menang, Bapak memilih untuk bertahan hingga pengumuman KPU tanggal 22 Juli 2014. Tidak masalah, saya hormati keputusan Bapak dengan hati berdebar-debar. Saya menulis surat ini setelah menonton wawancara Bapak dengan BBC Indonesia. Entah apa yang Bapak rasakan saat menanggapi pertanyaan mereka, namun saya merasakan kemarahan, kegetiran dan ketakutan. Jika saya salah, saya mohon maaf. Namun jika saya benar, saya mohon pertimbangan Bapak untuk tidak menjadikan pilpres sebagai perkara kalah-menang, mundur-maju dan hidup-mati.
Pak Prabowo yang gagah berani,
Bapak berkesempatan jadi negarawan yang mendahulukan persatuan Indonesia. Bapak berpeluang diingat sejarah sebagai seorang pemimpin yang legowo. Bapak bakal berperan sebagai Guru Bangsa… Jika menerima keputusan KPU tanggal 22 Juli nanti tanpa syarat.
Saya percaya keputusan tersebut tidak akan jauh berbeda dari hasil QC 8 lembaga bereputasi. Semoga saja untuk kebaikan bangsa Indonesia.
Doa saya untuk keselamatan, kesehatan & kemaslahatan Bapak.
Salam hormat,
Rene Suhardono

Dear Pak Prabowo,
Perkenalkan pak, saya Yoga, bersama Hari Prast kami adalah relawan dari tim kreatif yang di masa kampanye kemarin membuat desain Seri Kisah Blusukan Jokowi, yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan “Jokowi Tintin”. Saat ini versi terakhir yang kami lepas ke media sosial pada sore hari 9 Juli kemarin adalah versi 7okowi Presiden RI. Sebagai bentuk perayaan kami terhadap hasil quick count lembaga-lembaga penelitian yang disiarkan oleh sebagian besar stasiun TV di tanah air. 
Sungguh kami terkejut ketika TV One menyiarkan yang sebaliknya, bahkan melihat bapak dan tim sampai mendeklarasikan kemenangan segala. Di sini saya tidak mau berdebat tentang mana lembaga yang valid ataupun tidak. Sudah banyak orang yang lebih kredibel untuk memaparkan hal tersebut. Satu hal yang pasti, rakyat sudah memilih dan kita harus menghargai suaranya secara jujur dan hati nurani yang jernih. 
Saya juga mau bercerita apa yang terjadi setelah tanggal 9 tersebut. Mengetahui bahwa kami adalah tim yang membuat Seri Kisah Blusukan, salah seorang bapak yang tinggal di sebuah desa di Yogyakarta menitipkan pesan pada kami. “Mas tolong dibuatkan satu versi di mana Pak Jokowi dan Pak Prabowo bersalaman dan terlihat rukun,” katanya. Dengan halus kami menolak permintaannya. Apakah bapak heran kenapa kami menolaknya? Apakah kami tidak ingin melihat Pak Prabowo dan Pak Jokowi bersalaman dalam suasana yang rukun? Bukan. Bukan itu. 
Kami menolak permintaan tersebut karena menurut kami, di saat sekarang, gambar kami tidak akan efektif menyebar pesan itu. Selama suara rakyat belum dihargai, gambar kami hanya akan menjadi setara dengan rekayasa photoshop tanpa mempunyai kredibilitas dan tingkat kepercayaan yang bisa diterima masyarakat. 
Yang seharusnya menyebar di masyarakat adalah berita dan foto sesungguhnya di mana Pak Prabowo dan Pak Jokowi bersalaman kembali, di mana akhirnya salah satu pihak mengakui kekalahannya dan memberi selamat kepada pihak yang menang. Pihak yang menang pun tak merendahkan pihak yang kalah. Semua ksatria, semua sportif, semua saling menghormati. 
Dengan prasangka baik pada Bapak berdua, saya optimis pada akhirnya ini akan terjadi. Namun di sisi lain, sebagian besar rakyat mengharapkan ini terjadi segera dan proses pemilu ini segera tuntas dengan jujur dan adil. 
Rakyat ingin kondisi segera normal, Indonesia kembali rukun, tidak terpecah dalam dua pilihan, dan kita semua bisa kembali bekerja untuk membangun Indonesia. Saya percaya Pak Prabowo tanpa memenangkan jabatan presiden RI pun, mempunyai banyak cara lain untuk bahu membahu membangun bangsa ini. Di sinilah Indonesia akan kembali bersatu dalam kebanggaan, karena dalam pemilu 2014 ini kami memilih di antara para pemenang sejati.   
Yoga Adhitrisna
Yang Terhormat Bapak Prabowo,
Karena selama ini saya tidak mengenal Bapak secara pribadi, hanya mendengar dari apa yang media suarakan, saya merasa tidak berhak menilai Bapak walau kerap tergoda untuk melakukan ini.
Saya merasa perlu menyampaikan harapan saya—dan saya rasa, harapan seluruh rakyat—agar siapa pun yang nantinya menjadi pemimpin dapat membangun negeri ini jadi lebih baik dengan cara yang baik.
Ya, sesederhana itu.
Dan apabila pemimpin yang dipilih rakyat itu ternyata bukanlah Bapak, semoga Bapak tetap berkenan menjadi bagian dari kami yang mendukung perdamaian ibu pertiwi dan menjaga kelestarian Bhinneka Tunggal Ika.
Karena itulah Indonesia yang ingin saya wariskan ke anak-anak kelak.
Salam,
Sitta Karina
Pak Prabowo yang saya hormati,

Nama saya Putri, usia saya 27 tahun. Saya hanya anak perempuan biasa, bukan anak-anak siapa, bukan elite politik ataupun pengusaha papan atas.

Saya suka membaca & belajar, apa saja saya baca dari peristiwa sejarah sebelum kemerdekaan RI sampai sejarah terbentuknya agama pertama kali di garis keturunan Nabi Ibrahim AS.

Apa saja ya pelajari dan ikuti perkembangannya, begitu juga dengan mengikuti perkembangan Bapak sejak mengikuti konvensi Capres Golkar tahun 2004, nyawapres dengan Bu Mega tahun 2009, dan kembali nyapres di tahun ini.

Saya salut dengan kegigihan Bapak untuk menjadi seorang presiden, terbukti dgn keiikutsertaan Bapak di 3 kontes pemilu. Saya salut dengan ketekunan Bapak dalam mengejar cita-cita dan memenuhi harapan bangsa. Saya salut dengan kecintaan Bapak yg mendalam untuk memimpin negeri ini.

Namun terbesit beberapa pertanyaan di dalam benak saya, antara lain;

Apakah kecintaan yg mendalam terhadap negeri ini cuma bisa dilakukan apabila Bapak menjadi presiden? Apakah pengabdian terhadap bangsa terbatas dengan suatu jabatan tertentu? Apakah memenuhi harapan bangsa, melindungi setiap rakyat hanya bisa dilakukan oleh seorang presiden?

Saya rasa jawabannya tidak, Pak. Kita, sebagai rakyat Indonesia, bisa mengabdi dengan cara sekecil apapun, dalam posisi apapun, tertekan sekalipun kita masih bisa berdoa untuk kelangsungan negeri ini.

Pak Prabowo yang saya hormati, hari ini saya menulis surat ini terbaring di RS, saya terkena tipes dan infeksi viral karena selama lebih dari 40 hari saya berjuang bersama ribuan anak muda lainnya untuk mensukseskan pemilu tahun ini. Tujuan kami bukan serta merta mendukung capres lain, tapi karena kami yakin saat ini kami menggantungkan masa depan kami di pemilu kali ini. Kami menantikan perubahan ini. Badan ini boleh jatuh sakit, tapi jiwa ini tetap akan terus berjuang. Kami tidak sanggup berhenti bersuara. Bekerja. Berdoa untuk negeri ini.

Maka kami mohon kepada Bapak, negarawan yang kami hormati, prajurit bangsa yang kami banggakan, Bapak kami semua.. Apapun yang terjadi dalam hasil pemilu ini, jangan sampai menghentikan Bapak untuk mencintai dan dicintai oleh negeri ini.

Biarkan kami generasi muda ini mengawal Revolusi Mental bersama Pak Jokowi & Pak Jusuf Kalla. Berikanlah mereka berdua kesempatan untuk membangun negeri ini.


Hormat saya,

Chaerany Putri
Pak Bowo,
Jujur ya Pak, selama ini kalau dengar kata-kata tak sedap tanpa fakta tentang Bapak, saya yakin itu hanya hasil bualan kumpulan orang gemar adu domba.
Saya membayangkan Pak Bowo & Pak Joko adalah dua sahabat yang sedang berlomba saling membahagiakan satu sama lain.
Yah, anggap saja saya gila, tapi sering terlintas dalam benak saya, sementara para pendukungnya saling tindas, Pak Bowo & Pak Joko malah asyik ngopi bareng sambil comat-comot goreng pisang, bertukar ide apa yang akan dilakukan untuk saling memberi dukungan bila salah satu dari kalian diberikan kesempatan memimpin negeri ini.
Sampai akhirnya kata-kata tak sedap itu saya dengar dari mulut Pak Bowo sendiri via sebuah video wawancara di BBC. Gara-gara video itu, saya ingin sekali mijit pundak Bapak. Katakanlah yang Bapak ucapkan itu benar adanya, tapi pilihan kata dan mimik bapak selama video itu membuat bayangan comat-comot goreng pisang asyik berdua pun ludes seketika.
Saya masih terlalu naif untuk memberikan nasihat atau panduan kehidupan untuk Pak Bowo, tapi bolehlah terbongkar 1 harapan hati ini: kalau kekalahan memang bukan pilihan untuk Bapak, semoga Pak Bowo bisa mengalahkan amarah hati. Saya yakin, warga damai dikelilingi pasukan hati yang tenang.
Hormat saya,
Valiant Budi Vabyo
Disertai salam buat Bapak Prabowo-Hatta yang baik,
Saya, Arswendo, dan sebenarnya kurang percaya bahwa surat seperti ini bisa mengubah sikap. Apa lagi dalam soal di mana kepresidenan dipertaruhkan. Jadi saya lebih percaya kalau ada perubahan, itu semata karena Bapak Prabowo-Hatta menghendaki secara pribadi, bukan semata karena surat yang bahkan kesempatan dibaca dan direnung sangat kecil. Tak apa kalau tak terbaca, biarlah surat ini menjadi doa. Dan karena itu saya berpengharapan.
Perubahan yang saya maksudkan adalah lebih memihak kepada rakyat dengan tidak membuat bingung, cemas, memihak dengan menghormati apa yang rakyat inginkan, meneruskan apa yang mereka pilih. Bahkan kalau Bapak memiliki kemampuan, kekuatan, kuasa untuk mengecoh tidak perlu dilakukan. Bukan karena apa, melainkan sekarang ini kesempatan emas membahagiakan dan mendaulatkan rakyat.
Salam dan terima kasih,
Arswendo Atmowiloto
Bapak Prabowo Subianto,
Saya bisa membayangkan perasaan Anda jika semua itu benar-benar terjadi: Anda begitu mencintai rakyat Indonesia, tetapi rakyat Indonesia lebih mencintai orang lain daripada Anda. Saya mengerti bagaimana rasanya patah hati; Betapa pedih cinta yang tak terbalaskan.
Kita bisa mengerti pikiran dan perasaan seorang laki-laki yang ingin menghancurkan pesta pernikahan pujaan hatinya, kadang-kadang patah hati memang jauh lebih berbahaya daripada revolusi. Tetapi kita juga tahu, hanya mereka yang terlalu putus asa yang mewujudkan pikiran dan rencana-rencana buruk semacam itu jadi kenyataan—meledakkan rasa sakit hati jadi kebencian-kebencian yang menghancurkan.  Dalam situasi semacam itu, barangkali kita perlu sekali lagi bertanya pada diri sendiri: Apa dan siapa yang sebenarnya kita cintai? Semoga kita bukan termasuk para pecinta yang dibutakan ilusi: Orang-orang yang dengan lantang berkata bahwa mereka mencintai setulus hati padahal sesungguhnya hanya memikirkan diri dan kebahagiaannya sendiri. Pak Prabowo, saya yakin Anda bukan orang semacam itu. Anda mencintai republik ini dengan tulus, bukan karena ambisi dan kepentingan-kepentingan pribadi.
Demikianlah, Bapak Prabowo yang baik, surat ini tak akan mengatakan hal lain yang lebih penting lagi, kecuali: Kadang-kadang mencintai adalah soal melepaskan harapan-harapan.
Jika pada saatnya Anda harus menghadapi kenyataan yang pahit, sekali lagi, saat Anda dikalahkan takdir yang seolah-olah mengandaskan semuanya, percayalah: Tak ada pengorbanan yang sia-sia untuk cinta yang lebih besar dari segalanya. Jika memang semua ini tak seperti yang Anda inginkan dan rencanakan, relakan saja. Relakan. Tak perlu merasa sakit hati karena pernah berkorban sedemikian besar untuk mencintai republik ini, tak perlu menyesal mengapa dulu Anda tak melakukan kudeta saat Anda bisa melakukannya, percayalah: Tak ada pengorbanan yang terlambat untuk cinta yang selalu tepat waktu. Anda sudah melakukan yang terbaik untuk membuktikan cinta Anda pada rakyat Indonesia. Sialan memang, kadang-kadang cinta membalas pengorbanan kita dengan caranya yang menyebalkan. Tetapi mau bagaimana lagi? Bukankah cinta memang bekerja dengan caranya yang rahasia dan tak terduga-duga?
Bapak Prabowo, terima kasih telah mencintai republik ini seperti sedemikian besar Anda melakukannya. Tak ada seorangpun yang bisa berdiri di atas sepasang sepatu yang Anda kenakan saat ini. Anda barangkali pecinta sejati yang tak ada duanya. Jika kelak rakyat Indonesia lebih memilih orang lain untuk menjadi presidennya, relakanlah, relakan saja, biarkan mereka hidup bahagia meski tidak dalam dekapan Anda.
… Maka Anda akan tetap bisa melihatnya dari jauh, dengan cinta yang terus tumbuh: Rakyat Indonesia akan hidup bahagia dengan presiden yang dipilih dan lebih dicintainya. Jika saat itu tiba, semoga Anda juga berbahagia, meski tak menjadi presiden Indonesia.
Tetaplah berkuda,
Fahd Pahdepie (Fahd Djibran) 

Tentang Satu Hari yang Baik

Bapak yang masih gagah, aku tak ingin menjejalimu dengan perkara perhitungan perolehan kartu suara. Kau sudah terlalu penuh dicekoki hal itu oleh tim suksesmu.
Aku ingin mengajakmu berandai-andai. Tenang saja, ini bukan soal kalah atau menang. Kau tak perlu cemas.
Aku ingin mengajakmu membayangkan tentang satu hari yang baik di dalam hidupmu. Satu hari yang baik di antara hari-hari tenangmu, sebagaimana yang kau katakan dalam wawancaramu dengan sebuah media asing beberapa hari lalu.
Dalam wawancaramu itu (yang kudengar dengan penuh harap), bila seandainya kau tak terpilih menjadi presiden, maka kau akan baik-baik saja. Kukutipkan ini untukmu karena pernyataanmu begitu membekas di ingatanku. ‘…kalau rakyat Indonesia tak membutuhkan saya, saya akan baik-baik saja.  Saya akan kembali ke kehidupan saya yang tenang. Saya melakukan ini sekadar kewajiban saya untuk mengabdi kepada rakyat.’
Mendengar kau mengatakan akan kembali kepada hari-harimu yang tenang, aku pun turut tenang. Sebelumnya, aku cemas menyimak kata demi kata yang kauucapkan soal mitra tandingmu. Ya, aku tak suka kata rival, musuh, atau lawan, Pak. Aku termasuk yang percaya pilihan kata menunjukkan apa yang sesungguhnya dipikirkan oleh si pengucap.
Aku membayangkan kau menikmati hari-hari tenangmu. Kau yang gagah sedang berkuda—kudengar kau memang suka berkuda dan suka memelihara kuda. Kau ada di ruang bacamu, tenggelam dalam ribuan koleksi buku-buku bagusmu—kudengar kau memang suka membaca. Kubayangkan kau tersenyum menyaksikan Indonesia bertumbuh—kau bilang kau ingin Indonesia berkembang dan kau ingin ambil bagian di dalamnya.
Bayangkan, Pak, satu hari saja. Bayangkan tentang satu hari yang baik pada hari-hari tenangmu.
Kuharap itu sebuah hari tanpa kemarahan, tanpa kebencian, dan tanpa rasa luka. Sebuah hari di mana kau tetap terlibat dalam Indonesia yang lebih baik, meski seandainya, kau pun bukan presiden kami pada hari itu.
Indonesia yang lebih baik bukan cuma tanggung jawabmu, Pak. Ini tanggung jawab kami semua. Jangan kau jadikan seolah-olah ini bebanmu sendiri. Jangan remehkan kemampuan kami bangsa Indonesia untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik. Kami semua akan terlibat. Aku, sekian ratus juta penduduk Indonesia, mitra tandingmu, dan kau (semoga kau tak keberatan bergabung bersama kami membangun Indonesia) menjelma satu sebagaimana yang kau katakan, ‘Indonesia satu.’ Indonesia adalah kita, Pak. Jangan berjalan sendirian.
Bila itu terwujud, bukankah itu bisa disebut sebuah hari yang baik, Pak?
Bayangkan, Pak, satu hari yang baik di dalam hidupmu. Semoga itu hari yang baik juga untuk kami, bangsa Indonesia.
Salam,
windy ariestanty
nb: Terima kasih sudah memilih jalan demokratik menuju kursi presiden lewat pemilu 2014. Aku sangat menghargai kau yang memilih cara ini. Duduklah dengan tenang, Pak. Ini sudah bukan lagi soal kalah atau menang.

Pak, Mari ke Pantai

Pak Prabowo,
Ketika malam 9 Juli berubah menjadi fajar 10 Juli, apakah yang pertama kali Bapak rasakan? Mungkin ini pertanyaan klise khas pembawa acara kurang berpengalaman; tapi coba Bapak ingat-ingat lagi. Apa perasaan yang pertama kali menyeruak keluar ketika Bapak membuka mata dan kemudian, mungkin, mencari segelas air?
Saya membayangkan dalam pagi-pagi itu ketika Bapak sendiri tanpa ajudan atau siapapun yang biasa mendampingi Bapak; rasa yang keluar mirip astronot dalam puisi Subagio Sastrowardoyo. Ketika sang astronot terlontar jauh ke angkasa luar yang ia rasakan adalah:
Bahwa aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali.
Aku kini melayang di tengah ruang
Di mana tak berpisah malam dengan siang.
….
Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi
yang kukasih.
Saya tak tahu bagaimana rasanya sampai ke tepi yang tak mungkin kembali lagi. Tapi saya yakin, di tengah riuhnya hari-hari Bapak dalam beberapa waktu terakhir; Bapak membutuhkan keheningan dan kesendirian. Dalam hari-hari yang hiruk pikuk ini saya membayangkan Bapak butuh puisi. Dalam proses yang mungkin Bapak lakukan dalam keriuhan pilpres ini, kita sering berhadapan dengan emosi yang berbungkus keberanian dan ragu bersalut kemantapan hati. Apa yang akan Bapak andalkan menempuh itu semua? Saya tak berani membayangkan jawaban Bapak, Pak Prabowo.
Tapi ijinkan saya membayangkan, di antara hari-hari riuh ini Bapak mengakrabi kalimat-kalimat salah satu penyair terbaik Indonesia (ah, betapa bangganya kita memiliki seorang Chairil Anwar yang berbagi kewarganegaraan Indonesia, bukan?)
Senja Di Pelabuhan Kecil
-untuk Sri Ayati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Kapan terakhir Bapak memandang garis ufuk dengan ombak menerpa pergelangan kaki Bapak?
Gita Putri Damayana
Dear Pak Bowo,
Bapak tidak mengenal saya tapi saya sangat mengenal Bapak dari cerita-cerita Ibu saya dan juga keluarga besar saya.
Pak Bowo yang berhati baik, berjiwa besar dan hangat. Demikian Pak Bowo dikenal di keluarga saya. Terbukti selang 10 menit percakapan dengan Ibu saya di meja makan menjelang pemilihan di bulan April, saya yang tadinya mau memberikan suara bulat saya buat PDIP, saya ganti buat partai Bapak. That’s how much I was impressed by you, Pak.
Sekarangpun, disaat banyak kejadian menimpa Pak Jokowi dan sebagian besar menuding Bapak, di hati kecil saya masih percaya kalau Pak Bowo adalah tetap Pak Bowo yang dikenal baik oleh keluarga saya.
Saya percaya kalau semua manusia itu pada dasarnya dilahirkan baik,  Pak. Saya percaya kalau Bapak adalah seorang yang sangat penyayang, baik itu pada anak Bapak, Didiet ataupun seluruh rakyat Indonesia sendiri. Saya percaya Bapak punya mimpi, visi dan ambisi yang didasari oleh rasa cinta yang begitu dalam. Ketika banyak orang ingin memeluk Pak Jokowi, saya justru ingin memeluk Bapak. Saya ingin merangkul Bapak untuk menghargai cinta Bapak dan pendirian Bapak untuk bangsa Indonesia. Saya ingin merangkul Bapak yang sudah mengajarkan saya apa arti Compassion. I practice my Compassion with you, Pak. Therefore I can always see the kindness in you and most importantly, beyond you.
Dapat dibayangkan sedih dan patah hatinya saya, Pak ketika saya mulai melihat kebaikan Bapak itu mulai tertutupi oleh kemarahan, ambisi dan pilihan keputusan-keputusan Bapak, yang mungkin bijak untuk Bapak tapi belum tentu bijak buat rakyat Indonesia. Sosok Pak Bowo yang dulu saya kenal lewat cerita berangsur hilang, tergantikan oleh sosok Pak Bowo yang saya lihat di wawancara BBC beberapa hari yang lalu. Sekarang setiap hari, sebagai salah seorang relawan dan simpatisan Pak Jokowi - JK, ditengah kekisruhan situasi, kekacauan kondisi dan segala ketidakpastian yang ada, saya sering kembali merenung sendiri dan membayangkan saya ada kembali di meja makan pada bulan April itu.
Ada dua quotations Dalai Lama, idola saya, yang mengingatkan saya pada Bapak.
"Be kind whenever possible. It is always possible"
"The true hero is one who conquers his own anger and hatred"
Untuk seseorang menjadi Presiden itu adalah pilihan semua orang. Tetapi untuk seseorang menjadi Pahlawan yang sejati adalah pilihan diri sendiri.
Be kind, Pak Bowo and be our true hero.
Salam hormat dari saya dan keluarga,

Nazyra C. Noer
Pak Prabowo Yang Terhormat,
Saya yakin anda tahu, kehormatan seseorang tidak dipandang dari sekadar kemenangan, tapi kejujuran.
Saya juga yakin anda punya kejujuran itu.
Sebab meskipun kejujuran bisa diabaikan, Ia tak bisu.
Hormat saya,
Djenar Maesa Ayu
Yang terhormat Bapak Prabowo,
 
Saya adalah pecinta dunia militer. Dari kecil cerita perang, kepahlawanan adalah hal yang saya akrabi, walau belakangan saya sadar perang itu tidak seheroik gaya John Wayne, Chuck Norris menembaki para musuhnya, tapi tetap saja film perang adalah salah satu favorit saya. Setelah lebih dewasa, saya mulai tidak terlalu menyukai film semacam itu, karena mulai banyak sisi kemanusiaan dan kegetiran perang disorot, saya mulai punya hobi baru, membaca biografi para jenderal perang terkenal, di dalam maupun luar negeri.

Di sana saya mulai mengenal nama Bapak. Tadinya saya mengenal cuma sebagai menantu Presiden Soeharto yang menjadi salah satu pemimpin angkatan bersenjata Republik Indonesia. Semakin saya dewasa, semakin banyak intrik dan lika-liku militer terkait bapak yang saya ketahui. Singkat kata, saya berkesimpulan Bapak adalah seorang tentara jempolan. Sebuah kelebihan tentu di sisi lain, pasti ada kurangnya. Hanya saya anggap kekurangan itu manusiawi. Konsep ini yang saya alamatkan ke Bapak saat isu penculikan, intrik politik, kurang respek pada peraturan, kudeta dan banyak lagi, manusia melakukan kesalahan dan itu tidak menutupi fakta bahwa bapak adalah tentara jempolan yang manusiawi.
 
Belasan tahun setelah kontroversi yang mengakhiri karir militer Bapak, perjalanan waktu membawa bapak sebagai salah satu kandidat Presiden Indonesia. Saya kira Bapak masih menjadi salah satu putra negara yang terbaik, tapi sayangnya mayoritas masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan pada kandidat yang lebih tepat. Ini bukan masalah siapa buruk, siapa yang baik? Tapi lebih kepada Tuhan menempatkan seorang tokoh untuk ‘bersinar’ sesuai dengan waktunya. Kemilau karir pesaing Bapak itu memang ada di waktu ini dan beberapa tahun kedepan.
 
Saya yakin Bapak memahami ini, sayangnya melihat wawancara dengan BBC yang Bapak lakukan, membuat saya dan banyak orang Indonesia bergidik. Pemilihan presiden di mata Bapak menjadi semacam arena pertarungan yang pada awalnya hanya diberi tanda kutip ke sebuah pertarungan dalam arti sesungguhnya. Saya yakin Bapak tidak seperti itu. Mungkin ini akibat kegalauan, besarnya tekanan keadaan dan lingkungan dimana Bapak berada.

Saya percaya Bapak berhati besar dan menyerahkan pilihan mayoritas rakyat Indonesia secara legawa. Mendahulukan persatuan dan kedamaian demi masa depan bangsa. Tipikal seorang tentara jempolan.

Salam damai,

Erikar Lebang
Kepada Pak Bowo,
Begini Pak Bowo, singkat kata, sikap Anda yang menentang konsensus hitung cepat pilpress 2014 telah menciptakan kekhawatiran di masyarakat luas.  Tahu dari mana? Saya selalu tanya kiri kan sama tetangga, satpam, supir taksi, semua orang kecil yang dalam usia produktif, suara pemilih banyak dalam statistik profil pemilih.  Kebingungan itu muncul juga di banyak media massa.  Di saat kami mengharapkan perubahan, perdamaian dan kemajuan untuk Indonesia dengan pilpres yang akhirnya (kayaknya) demokratis, Bapak dengan seksama melakukan perbuatan tidak menyenangkan.
Saya paham sejak kecil Bapak telah diproyeksikan untuk menjadi presiden Indonesia.  Baik impian pribadi atau orang tua dan sedulur-mu, saya mengerti arti cita-cita dan doa keluarga.  Latar belakang bapak memang lebih dari memadai, mulai dari bibit, bebet dan bobotnya.  Tapi apalah guna-nya itu semua kalau sikap bapak senantiasa membingungkan, tidak menyenangkan, otoriter.  Cara-cara Bapak tidak berkenan, dan untuk beberapa kasus yang kita ketahui, bahkan tidak berkeperimanusiaan.
Suara rakyat tidak perlu ditentang, didengarkan saja, diterima.  Kami datang dengan harapan dan doa dan niat yang sama dengan Bapak ketika kami memilih calon presiden kami.  Satu suara demi satu suara, suara saya dan suara Mistum penjaga kuburan ibu saya, sama dengan satu suara Prabowo dan satu suara Hatta.
Masih banyak cara lain untuk membangun tanah air kita, bukan hanya dengan menjadi presiden.  Bukan hanya dengan melawan dan angkat senjata.  Negeri ini sudah cukup berdarah, ketidakpastian di Indonesia sudah jadi makanan sehari-hari.  Saya tidak akan menganjurkan atau mengancam atau marah terhadap sikap Bapak.  Saya hanya mau bilang, sudah, cukup, selesai, sampai di sini saja.  Semua manusia yang percaya patut beroleh tenang.
Sekali lagi: Indonesia untuk perubahan, perdamaian dan kemajuan.
Sinar Ayu Massie
YTH. Pak Prabowo..

Izinkan saya menyampaikan surat terbuka ini, sebagai bentuk rasa hormat saya atas kiprah Bapak pada republik selama ini.
Izinkan juga saya menyampaikan bahwa saya adalah pendukung Pak Jokowi yang menaruh rasa hormat yang tinggi kepada Bapak.
Saya pikir, saat ini adalah saat yang tepat di mana kita semua sudah selesai mencoblos jadi sudah tidak perlu lagi saling berkampanye.

Pak Prabowo..

Saya dulu kuliah di Bandung pak, di ITB. Kami wajib mengambil mata kuliah olah raga. Saat itu saya memilih mata kuliah Tenis Meja hanya karena olah raga ini tidak ada “adu badan”, maklum pak saya males jika harus berolah raga yang adu kuat badan. Beberapa teman saya mengambil Rugby, Pak, dan seperti yang Bapak tahu, bahwa di Bandung hanya ada 3 tim Rugby saat itu, yaitu ITB, Bandung International School, dan Kopassus. Mendengar cerita teman-teman saya yang mengikuti olah raga Rugby ini, rasanya tidak habis pikir pak, tiap pemain harus saling dorong dan saling bertabrakan. Sungguh di luar nalar saya. Pertanyaan saya pada teman-teman tadi: apa kalian tidak saling berkelahi? TIDAK… jawab mereka bersamaan, kenapa? Karena mereka sudah dilatih sikap sportivitas.

Tidak heran saat tim ITB harus bertanding Rugby dengan tim Kopassus saat itu, mereka saling bertabrakan, saling dorong, tersikut, ketendang, dst.. Tapi saat teman saya terjatuh keras, lantas salah satu prajurit Kopassus menghampiri dan membantu berdiri sambil bertanya:  ”Tidak apa-apa dik?” Sungguh sebuah sikap prajurit yang sportif. Usai pertandingan persahabatan, teman-teman saya pun disediakan tempat mandi yang baik dan diajak makan bersama. Yang tanpa disangka, teman-teman saya dikejutkan dengan kehadiran Bapak Prabowo yang mampir sebentar untuk menyapa.

Cerita tadi Pak terjadi sudah lama sekali, saat Bapak masih bertugas di Kopassus Batujajar. Kesan cerita tadi terus melekat di ingatan saya. Apalagi setelah saya tahu bahwa yang membawa olahraga Rugby ini ke Kopassus adalah Bapak sendiri, dari pengalaman sekolah menengah Bapak saat kecil di negara-negara Commonwealth. Sikap sportivitas dan ksatria menjadi hal penting yang ditanamkan Bapak kepada seluruh prajurit Kopassus.

Pak Prabowo…

Saat ini.. teman-teman, ayah ibu saya, kakak ipar dan saudara-saudara saya, dalam keadaan cemas dan was-was dikarenakan menerima banyak sekali SMS gelap yang pesan isinya untuk mawas diri akan terjadinya kerusuhan besar akibat pengumuman hasil pilpres dari KPU. Mereka semua bertanya-tanya kebenaran kabar tersebut.

Saya.. mencoba menghilangkan perasaan takut dan was-was tadi karena saya tahu bahwa Bapak tidak mungkin memerintahkan anak buah Bapak melakukan intimidasi atau teror lewat pesan pendek tadi. Kenapa saya yakin? karena saya pernah tahu cerita ksatria Bapak dan Rugby tadi. Saya yakin sekali yang menyebarkan berita-berita itu adalah pihak-pihak oportunis yang hanya memanfaatkan perseteruan politik Bapak dengan Jokowi.

Saya tidak menyangka, bahwa semua ketakutan ini berawal hanya dari sebuah ajang Quick Count. Lembaga survei yang diyakini kubu Bapak, mengeluarkan hasil yang berbeda dengan hasil yang dikeluarkan oleh mayoritas lembaga survei. Maka, kesepakatan yang diambil adalah kita semua harus menunggu hasil yang memiliki legitimasi hukum yaitu versi KPU. Ternyata, untuk menerima hasil quick count ini dibutuhkan sikap sportif dan ksatria juga. Sejak 2004, bangsa kita diajak untuk paham dan menerima sebuah model penghitungan cepat saat rakyat Indonesia melakukan pengambilan suara. Faktanya, sejak itu pula, kita semua meyakini bahwa metodologi ilmiah dalam penghitungan cepat ini bisa kita jadikan pegangan kebenaran atas hasil akhir KPU nanti. Yang keyakinan ini masih berlangsung hingga pileg beberapa bulan lalu sebelum pilpres.

Namun, ketika lembaga survei yang berada di pihak Bapak mengeluarkan angka survei yang berbeda, maka sejak itulah rakyat menjadi terbelah dan terombang-ambing.

Pak Prabowo…

Saya kok yakin, di dalam hati kecil Bapak, terdapat secercah sportivitas yang besar. Yang mampu melengkapi akhir dari proses panjang kontes demokrasi Indonesia yang kelak akan menjadi cerita sejarah besar. Bagi saya Pak, lembaga survei quick count ini diibaratkan sebagai lembaga prakiraan cuaca saja. Yang setiap hari kita menerima hasil survei dan riset mereka bahwa besok atau lusa akan terjadi hujan. Hampir dari kita semua tidak pernah meragukan laporan prakiraan mereka. Kenyataannya, di hari yang mereka ramalkan tadi memang terjadi hujan. Kini pertanyaannya.. hujan seperti apa yang kita harapkan? Tentu.. kita semua ingin sekali di tanggal 22 Juli, pengumuman KPU datang bagaikan hujan merata yang kita sambut sebagai berkah dan kesejukan. Bukan hujan badai, dengan petir, yang menimbulkan banjir apalagi bencana.. Semoga itu tidak terjadi.

Selamat menjalankan puasa Pak, mari sama-sama kita menyambut “Hari Kemenangan” demokrasi yaitu 22 Juli dengan sikap sportif dan ksatria atas hasil KPU nanti.

Mari sama-sama kita sambut juga Hari Kemenangan bangsa Indonesia, alias Idul Fitri di tanggal 28 Juli nanti.. bersama presiden baru yang mana ia adalah rekan Bapak juga yaitu Pak Jokowi.

Terima kasih, Pak, atas waktunya.
Anto Motulz
Dear Mr. Prabowo Subianto,
I watched with dismay as you called your rival Mr. Joko Widodo a product of PR campaign, a tool of oligarchs and how his humbleness was just an act, in a recent interview with BBC.
But, Sir, I understand where you’re coming from. This must be baffling to you, that a layman who comes from a modest background, who is not the most articulate speaker, who never tastes foreign education and who has little political experience, could rise to prominence and be voted by so many people.
It must be very perplexing to you that you said people have been fooled, and I believe you use the word stupid to describe us who voted for Mr. Widodo.
Well, Sir, we have indeed been fooled so far. By politicians, by corrupt leaders, by religious figures, by our representatives in the Parliament.
That’s why we don’t want to be fooled anymore. We are not stupid. We don’t see Mr. Widodo through rose-tinted glasses, thinking of him as Ksatria Piningit or Ratu Adil. But Mr. Widodo’s track record has given us a glimmer of hope that maybe, maybe he can work along the people and lead us to the better. It’s risky, we know, but we are willing to take that risk.
We are not fools. We voted for him with pragmatism and caution. We are aware that some of his backers are old timer crooks. But with due respect, Sir, the party coalition of yours looks like a gallery of rogues. Had you chosen better allies, Sir, I might’ve considered your rhetorics.
Sir, I believe in science. I believe in evolution and the Big Bang Theory. And I believe in math and statistical methods that have been used by credible pollsters to count the votes in this election. Looking at the results, you have lost the election, Sir. And don’t say that it is too close to call because the margin of 4-6 percent means about 7 million to 11 million people. That is not a slim margin.
So, it is time to please concede defeat, Sir. It would be more honorable for you to do so. Don’t let this nation hang in uncertainty. We need to move on to start clearing the mess we are in.
Regards,

Hera Diani
Dear Pak Prabowo.

Mungkin sudah banyak yang menodong Bapak dengan pertanyaan dan tuduhan seputar hak asasi manusia. Saya juga gak mau panjang-panjang membahas itu di sini.

Tapi satu hal: Manusia.

Sepanjang saya mengikuti sepak terjang Bapak ketika kampanye, saya selalu terganggu dengan bagaimana Bapak menempatkan “rakyat” ini bukan sebagai manusia. Kalau bukan “mulut-mulut yang harus diberi makan”, ya, “bebek-bebek yang selalu rame-rame”.

Saya khawatir perspektif Bapak inilah yang kini membawa Bapak ber-statement “melawan” kehendak “rakyat”. Mungkin Bapak lupa, kalau  ”rakyat” ini adalah jutaan manusia yang oleh Tuhan diberikan kelebihan dari sekedar mulut yang harus makan. Kami memiliki pikiran. Kami memiliki ingatan. Dan ingatan itu, Pak, insyaallah akan terus lekat dalam diri kami selama Tuhan mengizinkan.

Jadi, Pak, tolong. Jangan bermain-main dengan pikiran dan ingatan kami. Karena kami bukan cuma kumpulan mulut yang harus diberi makan.

Terima kasih


Regards,
Amelya Oktavia
Yth. Bapak Prabowo Subianto.
Setelah pemungutan suara dilakukan, beberapa lembaga survey kredibel merilis quick count yang menyatakan bahwa anda kalah.
Saya lantas cemas, apakah Bapak bisa menerima kekalahan ini? Apakah Bapak siap untuk mengakui bahwa setelah segala upaya yang Bapak lakukan, Pak Jokowi tetap unggul?
Saya takut Bapak melakukan segala daya upaya untuk membalikkan hasil ini. Meski itu harus berujung pertumpahan darah.
Saya waswas pesta demokrasi ini berubah menjadi perang antar saudara sebangsa.
Jadi, harap saya hanya satu, Yth. Pak Prabowo.
Saya berharap, semoga saya salah. 
Hormat Saya,
Ernest Prakasa
Hampir tak pernah sebelumnya saya menyaksikan cinta sedalam cinta Bapak Prabowo Subianto terhadap Indonesia. Saya menyaksikan di layar kaca, betapa berbinar, menyala, dan berapi-apinya mata Bapak ketika membicarakan harga diri bangsa, ketika berbicara tentang bagaimana melindungi Indonesia tercinta, ketika Bapak mengungkapkan dengan suara bergetar, bahwa Indonesia adalah satu-satunya yang terpenting.
Saya semakin terpesona tatkala bapak dengan gentleman-nya turun dari podium dan menghampiri Pak Joko Widodo seraya menyalaminya dan mengungkapkan bahwa Bapak setuju dengan konsep ekonomi kreatif Pak Jokowi. Bagi saya, itulah sosok negarawan sesungguhnya. Negarawan, bukan politikus. 
Menurut saya, semua orang bisa saja menjadi politikus, namun tak semua orang bisa menjadi neragawan. Bapak sudah memberikan contoh yang sangat baik bagaimana seharusnya seorang negarawan bertindak. Tegas, berbesar hati dan ksatria mengakui pendapat “lawan”.
Seperti halnya cinta kepada manusia, cinta kepada negara juga bisa bertransformasi. Cinta yang tadinya tulus, mendadak berubah menjadi cinta yang bertendensi menguasai, cinta yang harus memiliki, cinta yang kejam dan cinta yang menindas dan menghalalkan segala cara. Segalanya berubah haluan ketika 9 Juli masih tersisa beberapa jam. Semuanya berputar arah ketika saya menahan napas dan merinding ketakutan mendengar kalimat-kalimat pahit Bapak di wawancara dengan BBC. 
Saya kemudian bertanya-tanya, ke manakah negarawan yang amat jantan ketika menyalami Pak Jokowi? Ke manakah negarawan yang legowo dan kesatria? Ke mana negarawan yang menyatakan bahwa capres satunya bukan lawan namun saudara satu negara? Ke mana pribadi gagah yang menyerukan untuk menjaga perdamaian dan suasana kondusif pasca pemilu? Apakah sifat seseorang bisa berubah dalam sekejap saja? Apakah nafsu menguasai bisa membutakan mata hati dan pikiran sehingga segala cara pun ditempuh dan dilakukan? Apakah cinta Pak Prabowo kepada Indonesia sudah terjungkir balik; dari cinta yang tulus menjadi cinta yang menuntut? Dari cinta yang lemah lembut menjadi cinta yang pencemburu? 
Ah, saya menolak untuk percaya. Saya yakin, cinta bapak ke Indonesia masih semurni ketika saya melihat binar dan semangat di mata Bapak, bukan kilas amarah dan pahit yang getir ketika menuduh bahwa lawan yang curang. Saya yakin, ada orang-orang yang sudah mencemarkan, dan membelokkan persepsi bapak tentang cinta kepada bangsa. Dan sebagai negarawan hebat, saya yakin bapak akan segera menyadari bahwa Indonesia terlalu berharga untuk dicabik-cabik nafsu ingin berkuasa. Bapak pasti akan segera menyadari bahwa satu-satunya jalan untuk berdamai dengan diri sendiri, adalah mendengarkan kata hati dan nurani, bukan bisikan orang-orang yang berniat menghancurkan negri ini. 
Then your name will be written in history as the great man who chose the greater good that is Indonesia. 
Alexander Thian 
Dear Pak Prabowo,
Saya sedang bersedih dan saya yakin begitu juga dengan sebagian besar penduduk Indonesia yang telah bersuara saat Pilpres 2014 yang baru lalu.
Belum pernah begitu banyak fitnah muncul dan mengaburkan pandangan seseorang tentang Calon Presidennya seperti yang terjadi saat kampanye Pilpres 2014 ini.
Pilihan saya memang jatuh pada Bapak Joko Widodo, karena saya yakin, sebesar apapun fitnah yang telah dilontarkan padanya, tiada kebenaran didalamnya. Yang pasti saya percaya sudah waktunya Indonesia dipimpin oleh seseorang yang datang dari rakyat biasa, yang bersih dan jujur, serta tidak mempunyai beban masa lalu dan lepas dari keterkaitan rezim Orde Baru.
Saya bersedih dengan pernyataan Bapak di dalam interview Bapak di stasiun televisi BBC 11 Juli yang lalu, dimana Bapak mengatakan “”Ia (Joko Widodo) bukan orang yang merakyat, ia mengklaim sebagai orang yang rendah hati tapi saya rasa itu cuma pura pura…”
Sekali lagi, dari begitu banyak fitnah yang menyerang Bapak Joko Widodo, maupun menyerang Bapak sendiri, tidak pernah terbayang akan terlontar ucapan yang merendahkan Pak Joko Widodo dan mengagetkan begitu banyak orang dari seorang calon pemimpin. Bapak telah merendahkan Pak Jokowi secara publik, dihadapan pendukungnya yang adalah 50% (saya tidak ingin mengatakan lebih dari itu sebelum tanggal 22 Juli nanti) dari penduduk Indonesia yang telah bersuara memilihnya di Pilpres 2014 yang baru lalu.
Bapak Jokowi telah menyampaikan pidatonya seusai Pilpres tanggal 9 Juli 2014. Beliau menyampaikan:
"Saya mengapresiasi Prabowo dan Hatta yang telah berkontribusi membuat demokrasi yang lebih baik. Bapak berdua adalah patriot, pejuang bagi bangsa Indonesia. Peran apa pun yang Bapak jalankan bagi bangsa ini pasti akan berguna untuk melayani rakyat Indonesia,"
Begitulah pemimpin yang kami harapkan, seperti pernah Bapak katakan sendiri beberapa waktu yang lalu di akun resmi twitter Bapak:
“Selalu berkata baik dan berbuat baik. Kita bersaing dengan saudara-saudara kita dalam gagasan, nilai keyakinan akan masa depan bangsa”.
Saya berharap Bapak legowo, dan menyerahkan kepemimpinan Indonesia kepada Bapak Joko Widodo, dan Bapak akan selalu ada untuk membantu mimpi kita menuju Indonesia Hebat.
Salam Damai,
Mira Lesmana
Bapak Prabowo terhormat,

Sumbangsih bapak besar pada bangsa ini, saya yakin cinta bapak pada tanah air ini tidak diragukan lagi, dan karena kecintaanmu juga lah saya yakin. Seorang pemimpin harus lahir dari sebuah proses yang jujur dan adil.

Salam,
Happy Salma
Yang terhormat Bapak Prabowo Subianto.

Bapak mungkin tidak mengenal saya, tapi saya cukup yakin banyak di tim bapak yang kenal saya.
Saya cukup lama ada di seberang bapak. Bahkan memang saya lebih dulu kenal bapak daripada saya kenal Jokowi.
Sejak tahun 98, nama Bapak sudah masuk dalam referensi saya. Harus saya akui, tidak dalam pencahayaan yang baik.

Namun saya, punya prinsip yang saya pegang teguh: Mencoba memahami sebelum membenci.

Saya terbiasa untuk tidak membenci sebelum saya mencoba memahami dengan menelaah dulu lebih dalam & biasanya setelah saya mencoba memahami, saya tidak jadi membenci.

Itulah mengapa, saya tidak membenci bapak. Saya adalah lawan anda, bisa jadi saya adalah salah satu lawan anda yang paling keras, tapi lawan bukanlah musuh.
Ini mungkin prinsip yang sulit dipahami dari orang yang latar belakangnya militer, tapi kalau anda suka olahraga seperti saya, prinsip ini sungguh masuk di akal.

Saya paham alasan dibalik tindakan bapak. Saya paham motivasi bapak. Saya paham emosi bapak bahkan dalam banyak kesempatan. Ayah saya emosional dan suka menggampar orang juga. Tapi beliau tetap Ayah saya & saya selamanya menyayanginya.
Orang seperti anda Pak Prabowo, tidaklah asing bagi saya. Saya hidup dengan orang seperti itu seumur hidup.

Di akhir hidupnya, Ayah saya sudah melunak walau saya masih merasa beliau sulit menerima kesalahan yang pernah diperbuat & berdampak buruk kepada saya & kakak-adik saya. Kalau ada satu hal dari beliau yang merupakah kekuatan, adalah kegigihan. Di sisi yang lain, gigih terhadap hal hal yang salah jadinya keras kepala.
Namun walau sulit untuk beliau mengakui kesalahan, sikap beliau tetap berubah. Beliau memutuskan untuk mengambil tindakan yg benar. Hidup bersama beliau menyenangkan, tenang & penuh canda tawa hingga akhir usia beliau.
Ketika beliau meninggal, saya menangis karena teramat merindukannya. Orang yang sama, dulu saya acuhkan, saya hindari karena malas harus berurusan dengan beliau. Malas kena bentak.

Pak Prabowo, anda saat ini ada di penghujung perjalanan. Sesaat lagi, kerja keras anda bersama seluruh tim akan bertemu dengan takdir.

Apapun hasilnya, saya berharap anda menerima dengan baik & hati terbuka.

Saya tahu banyak orang berkata banyak hal buruk tentang anda, tapi mungkin ucapan almarhum Ayah saya di akhir usianya bisa jadi pegangan anda


"Reputasi seseorang tidak bergantung kepada apa yang orang katakan, tapi reaksi kamu kepada apa yang orang itu katakan"

Pandji Pragiwaksono
Bapak Prabowo Subianto yang saya hormati,
Di tengah seluruh keriuhan pesta demokrasi yang menyita banyak perhatian dan pikiran saat ini, saya kira hal yang paling Pak Prabowo butuhkan adalah lelucon. Pak Prabowo butuh sesuatu yang bisa membuat tertawa, bukan kritikan dan makian seperti yang sekarang bertebaran di Internet. Jangankan tertawa, tampaknya Pak Prabowo bahkan tidak pernah tersenyum di depan kamera para wartawan. Hal tersebut membuat saya kerap tersenyum sendiri—dan kadang-kadang sedih—mengetahui ada seorang pria gagah tidak mampu tersenyum di pusat pesta yang meriah.
Sejujurnya, saya tidak pandai melucu. Selera humor saya, menurut teman-teman saya, sedikit aneh. Namun, ada banyak kisah dari masa kecil saya yang cukup lucu—setidaknya, menurut ibu saya. Saya akan menceritakan kepada Pak Prabowo kisah lucu favorit ibu saya. Kisah ini paling sering dia ceritakan di meja makan dan membuatnya tertawa sambil menangis. Saya berharap kisah ini bisa membuat Pak Prabowo tersenyum, jika tidak bisa tertawa seperti ibu saya.
Saat saya berusia 6 tahun, ada bendungan besar dibangun tidak jauh dari tempat saya lahir di pedalaman Sulawesi Selatan. Bendungan itu terletak di Kecamatan Kahu, Kabupaten Bone. Tepatnya, di Sanrego, desa di mana tumbuh satu jenis pohon ajaib. Pohon itu, namanya juga Sanrego, konon, bisa membuat kontol kuda berdiri berhari-hari. Saya juga pernah mendengar cerita mengenai seorang lelaki yang sering meminum ramuan dari kayu bertuah itu. Konon, saat dia mati, kontolnya masih ereksi. Ajaib sekali!
Selama Bendungan Sanrego dibangun, banyak orang baru—mungkin orang-orang kota—lewat di depan rumah kami. Beberapa di antara mereka mengenakan seragam tentara. Karena kehadiran tentara-tentara itulah para penduduk akhirnya terpaksa merelakan sawah-sawah mereka jadi jalanan dan saluran irigasi, kata ibu saya bertahun-tahun kemudian.
Selain orang-orang baru, di depan rumah kami juga banyak melintas truk, bulldozerexcavator, dan mobil-mobil Hardtop. Setiap hari.
Ada cerita menarik mengenai mobil-mobil Hardtop itu. Orang-orang di kampung saya percaya mobil-mobil itu ke mana-mana berisi orang jahat yang senang memenggal dan mengambil kepala anak kecil. Konon, kepala-kepala itu akan ditanam di tanggul bendungan agar tidak mudah jebol. Teman-teman saya, tentu saja, ketakutan setiap kali melihat mobil Hardtop.
Tetapi, saya tidak takut kepada mobil-mobil Hardtop itu. Saya lebih takut kepada bulldozer. Sungguh-sungguh takut. Jika ada bulldozer lewat, saya berlari secepat mungkin ke hutan di belakang rumah saya untuk sembunyi. Di sana, di tengah hutan, saya menangis ketakutan. Tidak jarang saya mengencingi celana sendiri. Beberapa kali, ibu saya menemukan saya pingsan karena ketakutan melihat bulldozer.
Pak Prabowo pasti bisa membayangkan seberapa besar ketakutan saya.
Cerita mengenai saya yang takut bulldozer, tentu saja, dengan mudah menyebar ke mana-mana, termasuk ke sekolah, dan menjadi lelucon semua orang. Banyak orang tidak tahu nama saya, tetapi mereka tahu bahwa saya adalah Si Anak yang Takut Bulldozer.
Lelucon itu tidak mati saat saya tamat Sekolah Dasar—sebagaimana ketakutan saya kepada bulldozer. Ketika duduk di bangku SMA, saya pernah berkelahi dengan seorang teman yang menceritakan aib tersebut kepada seorang gadis yang saya taksir. Dia menyebut saya lelaki pengecut, bahkan kepada bulldozer takut.
Beberapa tahun lalu, saya berpikir anggapan kawan saya itu ada betulnya. Saya menuliskan satu sajak sederhana perihal ketakutan saya kepada bulldozerdan kepengecutan saya. Jika Pak Prabowo punya waktu, sajak itu bisa dibaca di sini.
Bapak Prabowo yang baik,
Sudah saya katakan di awal surat ini, saya tidak pandai melucu. Jika kisah yang sering membuat ibu saya tertawa sambil menangis tersebut gagal membuat Pak Prabowo tersenyum, setidaknya berpikirlah kenapa ibu saya harus menangis ketika menceritakannya.
Ibu saya dulu kader Partai Golkar. Saya ingat, dia punya semacam kartu anggota yang sering dia pajang di lemari kaca di ruang tengah rumah kami sepeninggal kakek dan ayah saya. Saya pernah bertanya kenapa dia memilih Partai Golkar, padahal dia bukan pegawai negeri. Dia menjawab singkat: saya takut.
Sekarang, ibu saya seorang kader PKS. Tapi, katanya melalui telepon, dia tidak memilih Pak Prabowo. Saya tanya kenapa. Jawabannya: saya tidak mau kembali hidup dipenuhi ketakutan.
Saya yakin Pak Prabowo paham betul kenapa ketakutan-ketakutan ibu saya muncul. Tentu saja, Pak Prabowo juga tahu bahwa ada banyak orang yang memiliki ketakutan seperti yang hidup dalam diri ibu saya.
Sekali lagi, jika Pak Prabowo tidak bisa tersenyum karena kisah lucu masa kecil saya di atas, setidaknya berpikirlah perihal ketakutan orang-orang seperti ibu saya. Pula nyaris semua kawan saya ketika bercerita perihal Pak Prabowo hanya ketakutan-ketakutan yang keluar dari diri mereka.
Sungguh, saya khawatir, ketakutan-ketakutan mereka itu kelak membuat Pak Prabowo betul-betul susah tersenyum—bahkan ketika mendengar lelucon paling lucu.
Saya kira Pak Prabowo jauh lebih paham daripada saya mengenai apa yang sebaiknya Bapak lakukan untuk membuat negeri ini lebih baik.
Salam hormat,
M. Aan Mansyur
Dear Pak Prabowo,
Sebelum saya sok akrab dengan Bapak, saya ingin meminta maaf atas kesoktahuan saya mengenai sosok Bapak, sosok yang hanya saya kenali dari layar kaca, sosok yang saya berusaha pahami dari cerita-cerita ayah saya. Saya berusaha memahami Bapak dengan pandangan gadis yang umurnya belum genap berusia dua puluh, dari gadis yang mungkin ditertawakan banyak orang karena tulisan-tulisannya yang seringkali terlalu menyedihkan, dari kacamata gadis yang diam-diam menatap wajah tampan Bapak sewaktu muda dulu.

Ngomong-ngomong, Bapak tetap tampan hingga saat ini. :D

Selain jatuh cinta dengan wajah Bapak, saya juga lebih dulu jatuh cinta pada pangeran berkemeja kotak-kotak yang pernah saya temui setahun yang lalu. Sosok yang saya kagumi hingga saat ini, sosok yang menjadi inspirasi beberapa tulisan blog saya. Saya mengagumi Bapak dan pangeran berkemeja kotak-kotak itu. Saya berharap juga bisa bertemu dengan Bapak dan membuktikan bahwa ketampanan Bapak bisa saya buktikan tanpa dibatasi layar kaca.

Bapak tidak perlu bertanya siapa gadis yang menuliskan surat ini, karena sosok saya pasti terhapus oleh jutaan orang yang fanatik memuja Bapak. Saya hanya rakyat kecil biasa yang mengharapkan perubahan baru untuk Indonesia. Saya lelah dengan Indonesia yang nampak tua dan tak lagi mampu menampung masalah-masalah yang ada di bahunya. Oleh sebab itu, 9 Juli kemarin saya bangun pagi-pagi untuk menentukan nasib saya dan nasib banyak orang yang masih ingin Indonesia tampak lebih segar, bersemangat, dan tetap terlihat awet muda di umurnya yang sudah puluhan.

Harapan saya siapapun yang jadi presiden nanti harus siap menomorsatukan suara rakyat dan melupakan kepentingan-kepentingan di luar itu. Saya boleh sedikit mengutip ucapan pangeran berkemeja kotak-kota itu, Pak? Beliau berkata bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak punya kepentingan, kepentingannya hanyalah untuk rakyatnya.

Saya berharap siapapun yang nanti naik tahta kekuasaan akan bersikap seperti itu. Kalaupun singasana itu diduduki oleh Bapak, harapan saya tidak muluk-muluk. Saya ingin Bapak, seperti yang saya bilang tadi, tidak punya kepentingan lain selain menomorsatukan kepentingan rakyat.

Kalaupun Bapak punya kuasa, saya harap setidaknya Bapak tidak mengecewakan kami dengan mementingkan kepentingan di luar kepentingan rakyat, Pak. Bukankah hebat, Pak, jika kelak Bapak naik tahta, dengan sikap bersemangat Bapak yang selalu mengacungkan jari telunjuk itu, ditambah lagi integritas Bapak untuk menomorsatukan rakyat di atas kepentingan lain.

Untuk membayangkan saja rasanya saya sudah menginjak lantai surga, Bapak mungkin sudah tertawa melihat kata-kata saya yang menggunakan metofora berlebihan. Begitu, dong, Pak. Tersenyumlah, Pak, tertawa lepas. Wajah tampan Bapak akan terlihat lusuh jika berkeringat karena terlalu semangat berteriak-teriak.

Santailah, Pak, 22 Juli nanti dengan hati yang lapang dan tenang, mari kita nikmati siapa yang jadi pemenang. Jika bukan Bapak, saya dan Indonesia minta Bapak lapang dada. Buat kami tenang ya, Pak.

Gimana, Pak? Setuju, ya, Bapak harus selow, santai, woles, kalau kelak Tuhan memberi atau tak memberi Bapak kesempatan untuk memimpin Indonesia.

Dwitasari
Bapak Prabowo yang Perkasa Seperti Macan,
Waktu kecil saya pernah ditanya, apa cita-citamu kalau sudah besar?
Jawaban yang populer di masa itu adalah jadi dokter. Tapi saya tak kuat melihat darah. Karenanya lantang saya bilang, ingin jadi presiden. Presiden itu hebat. Dikagumi orang, disanjung rakyat, disegani dunia. Saya percaya, jutaan anak Indonesia pernah merasakan punya cita-cita yang sama. Bapak adalah seseorang yang amat beruntung, karena Bapak sudah sedekat ini dengan kursi presiden.
Tadi malam, saya menyimak wawancara Bapak dengan sebuah stasiun televisi internasional. Saya mengira akan mendapati argumen yang diperkuat fakta dan bukti nyata. Sesuatu yang bisa membuat saya, dan jutaan rakyat yang memilih saingan Bapak, berpikir dua kali dan menjadi simpati (karena, percayalah, jika Bapak dilantik jadi presiden, Bapak akan tetap membutuhkan dukungan rakyat). Namun yang saya temukan bukanlah ketegasan dan kekuatan seorang calon pemimpin yang siap melayani, melainkan kemarahan dan kepahitan seorang calon penguasa yang gagal naik tahta.
Saya tercengang. Segusar itukah Bapak?
Barangkali anggapan Bapak benar. Barangkali tudingan itu bukan bualan. Mungkin kami semua sedang dibohongi oleh seorang tukang mebel yang pura-pura rendah hati. Namun, menyimak perkataan Bapak, yang saya dapati hanya amarah yang membuat jengah. Analogi ini mungkin berlebih, tapi saya seperti sedang menyaksikan bocah yang meronta di toko mainan karena tidak dibelikan robot-robotan.
Bapak, saya tak ingin punya pemimpin yang begitu dikuasai ambisi dan amarah, karena saya tak mau hidup dalam ketakutan. Pemimpin yang menghalalkan segala cara untuk meraih keinginannya akan melahirkan prajurit-prajurit yang tak kenal belas kasihan, dan bukan itu yang kami perlukan. Lebih dari tiga abad kami dijajah. Lebih dari tiga puluh tahun kami hidup dalam gentar. Cukup sudah kami didera.
Indonesia dari dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah. Mungkin kami dianggap bodoh, seperti yang Bapak katakan. Namun adakalanya menjadi ramah dan bijak lebih baik ketimbang pintar dan perkasa. Mungkin kami bukan macan yang jago mengoyak mangsa, namun kami tak memerlukan taring karena kami bukan bangsa pemburu. Barangkali kami disebut pemalas, seperti ucapan Bapak dalam wawancara, namun dalam ‘kemalasan’ kami masih sempat bertegur sapa dan saling merangkul sesama saudara. Karena, Bapak, itulah Indonesia yang kami tahu. Indonesia yang diceritakan dalam buku Pendidikan Moral Pancasila.
Bapak Prabowo yang Tangguh Seperti Macan,
Beberapa hari lalu dalam wawancara di Metro TV, Jokowi memakai sepatu seharga dua ratus ribu. Istri yang membelikan, katanya sambil tertawa. Mungkin itu semua cuma pura-pura. Barangkali kesederhanaan itu tak lebih dari permainan. Namun tahukah Bapak, berapa banyak hati yang dibesarkan oleh sepasang sepatu dua ratus ribu di kaki seorang calon presiden? Berapa banyak semangat dan harapan yang bangkit saat seorang calon presiden berjanji ia takkan punya kepentingan, selain mengabdi kepada rakyat? Berapa banyak anak tuna netra yang punya keberanian untuk terus bermimpi setelah kawan mereka dihampiri dan ditepuk pundaknya oleh calon presiden? Berapa banyak senyum yang terkembang saat seorang calon presiden tanpa segan berpose ‘selfie’ di televisi nasional? Ratusan tahun kami dijajah, akhirnya kami punya figur yang mendekati ayah—meski ia lebih suka dipanggil kakak. Dan pernahkah Bapak berpikir, berapa banyak kekecewaan yang sirna dan maaf yang diberikan, saat dengan senyum ia berkata, “Pak Prabowo dan Pak Hatta adalah patriot dan negarawan. Saya percaya mereka akan melakukan yang terbaik untuk negara ini.”?
Bapak, kami sungguh tak ingin membenci. Kami hanya ingin seorang pemimpin yang bisa kami cintai dan hormati, seseorang untuk dipercayai, yang tak menimbulkan ngeri. Beliau sudah ada di sini. Tolong beri ia kesempatan. Biarkan ia menjalankan tugas sebagai abdi rakyat. Dan sementara ia bekerja, barangkali Bapak bisa duduk beristirahat, meluruskan kaki yang sudah penat.
Jenny Jusuf
Pak Prabowo,
Ingatkah Anda di dalam salah satu debat Anda mengatakan “kali ini saya tak akan mendengarkan nasihat tim saya.”
Anda mengatakan tim Anda menyarankan tak boleh setuju dengan apapun yang dikatakan pak Jokowi. Tetapi saat itu Anda tak mengindahkan saran mereka. Anda turun dari podium, menghampiri Jokowi dan menyalaminya seraya mengatakan Anda setuju dengan konsep Ekonomi Kreatif yang diutarakannya.
Pak Prabowo, saat itu, saya tersentuh dan lantas menyimpulkan, Anda seorang yang sportif dan akan mengakui  kelebihan lawan.
Tetapi tanggal 9 Juli mengatakan kenyataan yang lain.
Kali ini, saya meminta Anda untuk kembali  tidak mendengarkan suara apapun di sekeliling Anda; untuk hanya mendengarkan suara hati Anda yang paling dalam: bahwa sesungguhnya enam lembaga yang menyatakan perolehan angka  Jokowi-JK berada di atas perolehan angka Anda dan Hatta adalah sebuah hasil yang sah dan bisa  dipercaya. Saya memohon Anda untuk menjenguk dan menyentuh  hati yang paling dalam. Jangan diganggu suara lain; jangan terganggu suara bising;  jangan biarkan hati Anda disentuh apapun barang seusapan.
Saya yakin, Anda, seperti kita semua sebetulnya tahu apa yang tengah terjadi.  Saya yakin Anda akan melakukan yang terbaik sebagai negarawan dan patriot sejati; sebagai orang yang sangat mencintai Indonesia, yang tak ingin Indonesia terpecah belah. Saya percaya, Anda tak ingin masyarakat Indonesia gelisah berkepanjangan karena masalah kepemimpinan yang serba tak pasti dan terulur-ulur. Saya percaya anda cukup peka dan cerdas yang mengetahui fakta yang sesungguhnya.
Pak Prabowo, kemenangan Jokowi-JK bukan berarti kekalahan Anda. Kemenangan mereka adalah kemenangan kita semua, karena artinya Anda juga menjadi bagian yang mendirikan tiang demokrasi Indonesia. Kami semua menanti langkah damai dari Anda untuk menjadi seorang negarawan yang sportif yang sekali lagi menyatakan “kali ini saya tak akan mendengarkan tim saya. Saya akan mengakui Jokowi-JK  yang akan memimpin negeri ini….”
Dan itu berarti Anda, tim Anda, kita semua, adalah pemenang dalam demokrasi Indonesia.
Leila S. Chudori
Pak Prabowo (dan Pak Hatta),

Sejujurnya saya sudah tidak tahu harus mau ngomong apa. Saya menduga, banyak juga orang yang seperti saya. Semangat kami menggebu hingga tanggal 9 Juli lalu, setelah itu yang ada hanyalah bingung dan ragu.

Banyak dari kami berusaha mati-matian menjadi warga negara yang baik dan aktif menggunakan hak politiknya, dari mulai tobat golput sampai memotret-motret formulir C1 di TPS. Padahal, biasanya kami alergi bicara politik dan isi HP kami lebih banyak foto makanan atau selfie. Tahun ini memang beda, Pak. Terima kasih untuk Bapak juga, tentunya. Kehadiran Bapak yang begitu kuat di Pilpres 2014 menggugah banyak orang untuk jadi melek urusan beginian.

Pak, banyak yang mau menulis surat untuk Bapak, jadi saya singkat saja. Apa yang sesungguhnya terjadi, rakyat awam seperti kami ini tidak akan pernah benar-benar mengerti. Kami hanya merajut dari media, obrolan warung kopi, apa yang kami lihat di televisi, dan cuap-cuap di media sosial. Apakah hiruk-pikuk itu bagian dari sebuah rencana besar, skenario politik tingkat tinggi? Entah. Terlebih lagi, kami tidak tahu persis apa yang Bapak rasakan saat ini. Saya juga tidak ingin mengajari Bapak berikhlas hati dan legawa, karena itu bukan sesuatu yang bisa diajarkan atau dibuat, ia harus lahir sendiri. Saya cuma titip satu pesan, Pak.

Konon, seorang Gus Dur pernah melihat ketulusan besar pada diri Bapak.  Semoga ketulusan itu bukan hanya perihal menjadi Presiden saja, tapi juga ketulusan atas segalanya, termasuk kalau sampai tidak menjadi seorang Presiden. Menjadi presiden adalah hal yang luar biasa hebat. Namun, bukan segalanya. Going back to our quiet life, just like what you had mentioned on BBC, is a true privilege not all of us can have. Apalagi, jika kita berhasil retret dengan terhormat.

Dalam salah satu wawancara Bapak dengan media internasional, Bapak berkata, Losing is not an option. Usia saya masih jauh di bawah Bapak, mudah-mudah ucapan berikut tidak dianggap menggurui. Yang saya lihat sejauh ini, Pak, kadang-kadang hidup tidak selalu memberikan apa yang kita inginkan. Katanya, karena apa yang kita inginkan belum tentu sesuai dengan apa yang kita butuhkan. Sucks, doesn’t it? Sometimes losing becomes our reality. But, you know what, Sir? It doesn’t end there. Karena ketika kita berhasil berdamai dengan kekalahan, kita pun bisa keluar menjadi seorang pemenang.

From that perspective, life is not bad at all.

Salam hormat,

Dee Lestari.

PS. Saya sepenuhnya sadar paragraf terakhir akan kembali lagi kepada saya kalau ternyata Pak Jokowi nggak jadi presiden. Jujur, saya nyoblos nomor 2, Pak. Jangan marah, ya. Begitulah demokrasi. Peace.

Dear Pak Prabowo,
Dalam pekerjaan saya sebagai sutradara, saya terbiasa memperhatikan dan menilai orang berakting. Setelah beberapa tahun bekerja, saya memiliki insting yang kuat, kapan seseorang berpura-pura, kapan seseorang berlaku tulus.
Saya mengikuti kampanye tahun ini dengan sangat seksama. Kalau ada satu yang bisa saya simpulkan, Bapak tulus ketika Bapak mengatakan Bapak ingin berbuat sesuatu bagi bangsa. Saya yakin Bapak tulus ketika Bapak mengatakan Bapak mengubah nasib kami.
Tapi Pak, bangsa ini lebih membutuhkan seorang pahlawan ketimbang seorang presiden.
Jadi seorang presiden belum tentu membawa kebaikan kepada rakyat. Tapi menjadi seorang pahlawan, pasti berarti bahwa orang itu telah berjasa atas hidup rakyat.
Kini adalah kesempatan Bapak untuk jadi pahlawan, walau bukan berarti harus jadi presiden, Pak. Bapak telah dicintai dan dipilih 48 % rakyat Indonesia yang memutuskan memilih, relakanlah presiden dipegang oleh yang dipilih 52 % lainnya.
Jadilah pahlawan kami.

Joko Anwar
Pak Prabowo yang baik, 

Sebagai prajurit sejati, anda tentu senantiasa mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribada. Anda bahkan rela berkorban jiwa dan raga jika bangsa dan negara memerlukannya. Hal itu, sebagai prajurit yang bersendikan Sapta Marga, pasti telah anda lakukan berkali-kali. Meski tanpa pujian dan penghargaan yang tinggi. 

Kini, kesempatan untuk membuktikan kecintaan anda pada bangsa dan negara terbuka sekali lagi. Saya mohon anda berlapang dada menerima hasil quick count Pemilihan Presiden 2014 yang dilakukan RRI, untuk menunjukkan —sekali lagi, betapa keutuhan bangsa dan negara Indonesia adalah yang utama untuk anda. Saya percaya, masih ada patriot yang berjiwa besar dalam sanubari anda.


Dian Ina Mahendraanak kolong
Yang terhormat Bapak Prabowo Subianto,
Anda adalah harapan saya, harapan seluruh bangsa. Saya melihat televisi, saya melihat Anda berjuang untuk memenangi pemilihan presiden, berpidato di tengah massa, berdebat di panggung KPU. Semuanya Anda lakukan dengan sepenuh hati, sepenuh semangat, dan sepenuh kepiawaian. Ini mengharukan. Terkesan, bahwa Anda mempertaruhkan segalanya untuk rakyat Indonesia, untuk sebuah kehidupan yang lebih sejahtera.
Mendadak saya teringat tokoh wayang yang sakti-mandraguna: Resi Bhisma, sesepuh Kurawa dan Pandawa. Di perang Bharatayudha, posisi Bhisma tentu saja sulit. Namum pilihan itu harus diambil, dan Bhisma yang tak ingin lebih jauh mengorbankan prajurit beserta para panglimanya rela gugur dengan cara mengungkapkan rahasia kelemahannya, agar perang cepat selesai. Di adegan wayang yang saya ingat, Bhisma yang dalam perjalanan ke alam baka mempertemukan Kurawa dan Pandawa: mereka semua berkumpul menghadapBhismayang seluruh tubuhnya tertutup oleh anak panah yang menancap. Perang memang tak lalu berhenti. Tapi dengan pengorbanan Bhisma, mayapada bergerak menuju damai, karena kebajikan akhirnya menyebar.
Saya rasa tak berlebihan bila saya berharap Prabowo Subianto adalah Bhisma, yang berkorban untuk seluruh rakyat Indonesia yang ia cintai.
Bambang Bujono
Dear Pak Prabowo,

Saya adalah penggemar obituari, bukan karena saya pahit memandang dunia, tapi saya hanya senang sekali membaca dan membayangkan seperti apa orang yang dituliskan oleh mereka yang ditinggalkan. Kadang tulisannya membuat saya terharu, kadang saya lewatkan saja setelah satu dua paragraf sebab rasanya terlalu palsu.

Sayangnya ya Pak, obituari atau pidato pemakaman tentang yang wafat ini jarang di Indonesia. Oh, atau mungkin saja karena saya muslim dan orang yang meninggal di dekat saya bukan yang terkenal. Pernah suatu kali, saya datang ke pemakaman ayah teman saya, yang diceritakan hanya almarhum lulusan mana, lahir di mana, anaknya berapa, serta data-data kering lainnya. Bukan hal indah tentang hidupnya.

Tapi bila Bapak meninggal, pasti Bapak akan mendapat obituari. Bukan cuma satu atau dua, tapi pasti banyak. Karena Bapak orang penting, dengan segala jabatan Bapak, apalagi dengan sejarah pemilihan presiden 2014 ini.

Pernahkah Bapak terpikir tentang apa isi obituari Bapak nanti? Saya sering terpikir apa yang ditulis tentang saya nanti; Apakah isinya adalah data kering saja? Apakah isinya adalah masa lalu yang tak tuntas? Apakah isinya tentang kebaikan yang sudah dibuat?

Kalau Bapak akan menjawab ‘tidak tahu itu urusan mereka yang hidup’, maka maaf harus saya ingatkan, justru cuma Bapak yang tahu.

Saya belajar, Pak, bahwa obituari itu tak dituliskan oleh mereka yang hidup. Obituari selalu sedang dituliskan oleh kita sendiri dalam perjalanan “pulang” menuju Tuhan. Mereka yang menulis obituari hanya mencatat data kering dan kenangan terbatas yang mereka tahu. Obituari di halaman media mungkin bisa diatur, tapi “obituari” di hati rakyat yang terjujur.

Cuma Bapak, dari lubuk hati yang terdalam, yang bisa menjawab dan memilih apa yang Bapak mau orang tuliskan tentang Prabowo Subianto yang sudah wafat nanti. Ini bukan pilihan pendukung Bapak, keluarga Bapak, apalagi pilihan koalisi politik Bapak.

Karena itu Pak, sebab hidup seklasik kutipan ini: “Hidup adalah pilihan”, maka saya minta dengan sangat: pilihlah kita, pilihlah rakyat. Pilihlah Indonesia, yang saya percaya adalah cinta sejati Bapak. Karena cinta sejati tak akan pernah usai, Pak.

Biarkan Bapak sekarang menulis dan kami nanti mencatat seorang Prabowo Subianto dengan kenangan yang baik, bahwa suatu waktu di bangsa ini pernah hidup seorang negarawan yang memilih cinta sejatinya: Indonesia.

Semuanya kembali ke Bapak. Saya cuma bisa meminta apa pun hasilnya di 22 Juli 2014 nanti; Semoga nanti yang menang bukan Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK, namun yang menang adalah Indonesia.

Semoga sang Presiden dan wakilnya menang adalah karena kejujuran serta niat baik. Semoga yang belum terpilih mau terus membangun bangsa dengan terhormat. Karena saya percaya Tuhan selalu bersama Indonesia, maka cara dan niat yang salah akan selalu berakhir sia-sia.

Sekian saja Pak Prabowo. Salam kenal dari saya yang selalu mencoba memahami Bapak seperti para pendukung Bapak.

Oya, dan jika nanti Bapak wafat, saya janji akan coba tuliskan obituari untuk Bapak dari kenangan terbatas saya ini.



Ginatri S. Noer
Bapak Prabowo Subianto, presidential candidate of Indonesia.

I write this letter with the upmost respect and humble heart to appeal to you to honour your promises to honour our wishes, the wishes of the Indonesian people.

I am a fellow pesilat, Sir. I remember the first time we met I was 16 years old, and with your generous invitation, Indonesian and British pesilats were invited to your house for dinner. We spent a jovial night singing, eating, and getting to know our brothers and sisters in Silat, and I remember being very grateful for your sincere hospitality.

You are a very admirable man, Sir. Your speech that night spoke of pride that our beloved culture of pencak silat had spread to Europe. It is beyond a shadow of doubt in my mind, and to all who hear you orate, that you are indeed a fervent nationalist, proud of your people, your nation and what we can achieve.

Pencak Silat teaches us honour and discipline and valour, and I do not take lightly theses principles. They are the principles of great men and women that will form the foundation for a great nation. Pencak Silat also teaches us sportsmanship, how to win without deceit, cunning or harmful tactics, but rather to respect and honour your opponent and embrace them as your brother in arms. Despite being from different countries, or different perguruan, we are all united under PERSILAT for the love of the sport and for it’s better development.

You are the President of PERSILAT, therefore, you of all people, should be the loudest to preach and practise such values.

Sir, I would like to ask you most respectfully, how different is PERSILAT to the nation of Indonesia? Millions of Indonesians are united under one flag of Merah Putih, irrespective of their background, religion or culture. Pancasila, which you frequently mention, are values that are unshakable to this nation, and should never be twisted to suit ones agenda.

It is with upmost respect that I express my sadness and disappointment at the way this presidential race has progressed. No side is clean, but the people find undeniable evidence in the way your team and it’s affiliates have conducted themselves in a manner that is truly unfortunate.

You are a fervent nationalist, and a good and generous man, and you have expressed your intentions to listen to the people you so passionately wish to reside over.

Bapak, I appeal to you now with the sincerest heart, to listen to the people, as they have already spoken, with the loudest cries a nation could cry. In the event that you do not become our president, I pray that you honour your word to respect the wishes of the nation you love.

As a fellow pesilat, I appeal to you to bring back the values of comradeship and sportsmanship our beloved silat teaches, to your political aspirations and agenda. As it teaches, there is no harm or shame in defeat, only pride in representing your country, and noble acceptance that you lost gracefully against a better opponent.

I appeal to you, Sir, to be graceful, and noble and sportsman like in your character. I implore you to listen to the people of Indonesia, even if their wishes do not match your own. I ask you to continue to fight for our beloved Indonesia in another capacity and I pray your intentions are pure and accepted by God.

God bless Indonesia and all those who continue to love this nation as strongly as you do.
Hannah Al Rashid

Tentang Mimpi Damai

"Berapa lama lagi…?"
Kau bertanya sambil menekuk tubuh
Menjauh
Seperti lingkaran urat kayu aku memaknai:
Geronjalan gelinjang batu mimpi
Desakkan suara kerinduan yang damat menuntut
Mencumbu pantai biru kita yang berlumut
Lalu aku menjawab: “…delapan depa lagi…”
Kau pun tak sabar berlalu
Bersamaan dengan bau mayat terbakar
Dan gedung-gedung runtuh
Salman Aristo
Dear Pak Prabowo,
Saya turut berduka atas begitu banyak kepahitan dan kemarahan dalam diri Bapak.
Saya turut berduka atas begitu banyak terpaan yang Bapak terima.
Saya turut berduka atas begitu banyak cita-cita Bapak yang mungkin kandas karena Bapak belum dijodohkan memimpin negara ini.
Sesungguhnya dalam hati, saya percaya Bapak berniat baik atas negara kita ini.
Sesungguhnya dalam hati, saya percaya ada setitik kemungkinan negara kita bisa menuju keadaan yang lebih baik di bawah kepemimpinan Bapak.
Namun demikian, Pak Prabowo, suara saya tahun ini belum untuk Bapak.
Suara saya tahun ini saya berikan dengan ikhlas dan penuh doa yang terbaik untuk orang yang Bapak sebut sebagai rival dan menyebut Bapak sebagai negarawan.
Suara saya tahun ini saya berikan untuk orang yang, walaupun mungkin hanya pencitraan dan palsu seperti yang Bapak katakan, memilih untuk mengayomi kami dengan senyum dan hati yang tidak digayuti beban dendam, benci, kepahitan, dan amarah.
Saya mohon maaf, Pak Prabowo. Sebagai warga sipil, saya mungkin Bapak anggap lancang untuk permohonan saya berikut ini, tapi saya terima.
Saya memohon kepada Bapak, biarkan kami dipimpin dan diayomi orang yang dengan cengiran khasnya memamerkan sepatu seharga dua ratus ribu rupiah yang dibelikan istrinya. Yang dengan keramahan tulus (Iya, Pak, saya bodoh seperti sebutan Bapak kepada rakyat Indonesia pada umumnya. Tapi saya rasanya masih bisa membedakan mana yang tulus mana yang tidak) bersedia duduk lesehan sambil berbincang dengan orang-orang di dekatnya. Orang yang memberi harapan baru bagi kami, memberi bukti nyata akan kerjanya.
Yang terpenting, orang yang tidak dibebani amarah dan kepahitan.
Pengalaman hidup saya tidak ada apa-apanya dibanding Bapak. Tapi saya pernah mengalami rasanya dipimpin orang yang penuh kebencian. Saya pernah mengalami rasanya berada bersama orang yang penuh kepahitan. Saya sendiri. Hidup saya berantakan tanpa arah. Semua langkah yang saya ambil berdasar benci dan menghasilkan benci. Segala pemikiran saya berdasarkan dendam dan amarah.
Saya pun rusak, hancur berantakan.
Pak, saya tidak ingin negara ini seperti itu. Saya takut bila negara ini seperti itu. Hati saya hancur membayangkan bila saya mewariskan negara yang seperti itu untuk anak-anak saya.
Seperti yang sudah saya katakan di sebelumnya, sesungguhnya dalam hati saya yakin dan percaya Bapak memiliki niat baik untuk negara RI dan seisinya.
Bila benar demikian, semoga Bapak bisa melihat dan merasakan bahwa hati yang ringan akan jauh lebih baik dari hati yang diberati emosi negatif. Hati yang ringan itulah yang sedang kami butuhkan saat ini, Pak.
Pak Prabowo, saya mendoakan agar Bapak bisa dilepaskan dari apapun yang menjadi penyebab kepahitan dan amarah yang menguar dari Bapak.
Saya mendoakan agar suatu hari Bapak bisa melihat ke depan dan belakang, kemudian tersenyum. Bukan menatap ke atas sambil merengut seperti saat ini.
Dan ketika saat itu tiba mungkin, mungkin, saya akan mengubah pendapat saya tentang Bapak.
Salam,
Nita Sellya

Aku Memahamimu Pak Prabowo

Pak Prabowo…
Jika aku Ibumu, aku sangat memahamimu.
Tentang seorang anak berbakti yang tumbuh mendunia.
Dibesarkan orangtua mapan, diterbangkan mertua terpandang.
Kau menjadi dewasa dalam kejayaan dunia.
Aku tahu kau kokoh di tempatmu.
Aku tahu kau juga rapuh dalam kebesaranmu.
Kau tumbuh dalam kejayaan, tapi juga kau tak tahu siapa harus kau percaya.

Pak Prabowo…
Jika aku pasangan hidupmu, aku sangat memahamimu.
Tentang laki-laki yang ditempa kerasnya dunia tentara.
Ditakuti karena latar belakangmu, kau tak ada yang menjaga.
Kau telan segala angkara, kau ledakan apa yang kau sebut sebagai perintah.
Aku tahu kau sunyi. Aku tahu kau memerlukan pelabuhan.
Tapi kau bebaskan kehendakmu.
Kau lakukan sesuatu yang berbahaya, yang kau anggap benar.

Pak Prabowo…
Jika aku anakmu, aku sangat memahamimu.
Tentang seorang Ayah yang memerlukan panggung, sungguh pun rumah melebihi semua panggung.
Kau mencari tanpa tahu apa yang sesungguhnya kau cari.
Kau dirindukan keluargamu.
Kau dirindukan orang-orang yang menantimu duduk diam.
Kau manusia, semua tahu. Tapi mungkin kau lupa itu.

Pak Prabowo…
Jika aku sahabatmu, aku sangat memahamimu.
Kau memiliki kesedihan, aku paham.
Kau memiliki kekecewaan, aku paham.
Kau memiliki ketakutan, aku paham.
Kau memiliki penyesalan, aku pun paham.
Dan di atas semua itu, kau memiliki kehendak yang tak bisa kau kendalikan.
Kau lumatkan berbagai perasaan murnimu menjadi sebentuk sikap yang bahkan tak kau kenali.
Itu yang tak bisa aku paham.

Pak Prabowo…
Mari buka jendela. Aku sahabatmu, dan kau sahabatku.
Lihatlah, dunia telah berubah.
Lihatlah rakyat yang telah lelah.
Tak ada lagi yang memerintah dirimu lagi untuk berulah salah.
Tak ada lagi yang memaksamu untuk beranjak dari anak berbakti menjadi laki-laki dengan nurani terbelah.
Kau tak harus lagi bersikap salah.
Pelabuhan yang kau cari, adalah mengalah.
Dan kau tidak akan pernah kalah. Tidak akan pernah kalah!

Cahaya bisa kau dapatkan tanpa harus memiliki singgasana.
Biarlah kau dapatkan sendiri ketenteramanmu.
Dan kau tidak lagi menjadi tumpuan bagi orang-orang yang berebut kuasa di atas kesunyianmu.



Alberthiene Endah
Saudara Prabowo dan Hatta,

Tanah air kita  membutuhkan anda berdua.  Dalam posisi apapun, dalam menang atau dalam kalah.

Kemenangan politik penting, tapi kehidupan bangsa yang  saling mempercayai jauh lebih penting.

Kemenangan politik bersifat sementara, tapi cita-cita untuk kebaikan Indonesia akan terus menggerakkan hidup anak cucu kita.

Kemenangan politik selalu untuk “aku” atau “dia”, tapi Indonesia untuk “kita”.

Saudara Joko Widodo menyebut anda berdua “patriot dan negarawan”.  Berjuta-juta rakyat Indonesia berharap demikian.

Mari kita hormati hasil pilihan rakyat 2014.

Goenawan Mohamad.

Kemenangan Terindah untuk Kemanusiaan

Pak Prabowo yang baik…
Ada ungkapan bijak: kemenangan bukanlah segalanya, dan kegagalan hanyalah kemenangan yang tertunda. Saya tahu, ungkapan bijak tersebut seringkali kurang relevan dalam dunia politik. Kemenangan adalah meraih target optimal, karena itu, dalam politik, kemenangan selalu ditentukan hasil akhir. Tapi saya yakin Pak Prabowo, yang berpengalaman bertahun-tahun dalam politik, sangat memahami: politik ialah sebuah cara untuk meningkatkan martabat bangsa. Oleh karena itulah, sebagai bangsa kita memilih demokrasi, untuk meningkatkan martabat kita sebagai bangsa. Dalam demokrasi, politik diwujudkan sebagai sebuah jalan untuk mengakomodasi semua kepentingan agar seluruh warga negara bisa hidup rukun berdampingan, untuk bersama-sama mencapai tingkat kesejahteraan yang diinginkan.
Pilpres sudah berjalan aman dan lancar. Itu bukti rakyat sudah dewasa dalam politik. Bagi rakyat, Pilpres bukan semata-mata kontestasi perebutan kemenangan antara Pak Prabowo dan Pak Jokowi. Bagi rakyat, ini bukan semata-mata soal siapa yang meraih kemenangan. Karena rakyat sudah menyadari, Pak Prabowo dan Pak Jokowi tidak sedang “berperang” (apalagi dengan semangat perang Badar) memperebutkan kemenangan. Melalui Pilpres ini, sesungguhnya, Pak Prabowo dan Pak Jokowi sedang bersama-sama memperjuangkan Indonesia yang lebih berkeadilan sosial dan mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Sudah tentu, niat dan cita-cita Pak Prabowo dan Pak Jokowi sama-sama mulia. Saya percaya: tak ada dari siapa pun kita yang tidak menginginkan Indonesia yang hebat dan membanggakan.
Bagi sebagian orang, kemenangan memang hanya soal kemenangan. Seakan-akan kemenangan adalah harga mati. Karena itu, kemenangan diperjuangkan dengan berbagai cara. Tapi saya yakin, haqul yakin, Pak Prabowo bukan tipe pemimpin yang seperti itu. Saya yakin, Pak Prabowo tidak akan pernah menyetujui praktik-praktik ”menghalalkan segara cara demi mencapai kemangan” seperti dogma Niccolo Machiavelli. Saya yakin, sangat yakin, Pak Probowo adalah pemimpin yang selalu memahami: bahwa dalam politik, kemenangan hanya memiliki makna bila kemenangan itu berguna bagi rakyatnya.
Itu sebabnya, setiap kemenangan sebenarnya memiliki dimensi etis: kemenangan, sesungguhnya, tak melulu soal hasil. Ada nilai etis yang inheren dan tak bisa diabaikan begitu saja dalam  proses dan perjuangan mencapai kemenangan. Bila dimensi etis itu hilang, maka kemenangan sebagai upaya meraih tingkat keluhuran, bisa menjadi sesuatu yang merusak tatanan nilai. Saya jadi teringat Max Scheller, filsuf Jerman, yang memalui fenomenologi nilai, mengelaborasi perihal “hierarki nilai”. Menurutnya, terdapat hierarki nilai dari tingkat lebih tinggi ke lebih rendah yang bersifat apriori. Hierarki nilai itu, bisa kita gunakan untuk memaknai apa itu kemangan. Dan seberapa bermakna sebuah kemenangan.
Nilai kesenangan hanya akan menempakan kemenangan pada hierarki yang pertama, yang terbawah: hanya memberikan kepuasan yang bersifat individual. Kemenangan hanya memuaskan diri kita sendiri. Karena itulah, kemenangan mesti tak bisa dilepaskan dari nilai vitalitas atau kehidupan; inilah tingkatan nilai yang membuat sesuatu menjadi berharga karena tak sekedar memberikan kepuasan individual, tapi juga kebergunaan bagi kehidupan. Begitu pun dengan kemrnangan. Ia memiliki nilai bagi kehidupan (bersama) bila tercipta keluhuran nilai yang berkaitan dengan kebaikan pada umumnya, pribadi maupun lingkungan sosial.
Kemudian nilai spiritual. Untuk mencapai ini, dibutuhkan kerelaan untuk tidak terikat pada nilai vitalitas, demi nilai spiritual. Di sinilah saya yakin, Pak Prabowo sangat memahami: bahwa ada tanggung jawab yang lebih besar, yang diemban oleh setiap pemimpin, untuk menempatkan setiap konteks kemenangan pada nilai yang lebih tinggi. Kemangan yang bernilai spiritual akan selalu lebih mendewasakan kita. Itulah sebabnya, dalam Islam, ibadah puasa, sebagai pergulatan melawan hawa nafsu, kerap dimaknai sebagai proses menuju kemanangan sejati. Lantas nilai keprofanan, yang berdimensi keilahian. Pejuangan mencapai kemenangan, menjadi semakin memiliki makna, bila dikaitkan dengan nilai keprofanan ini. Karenanya, apalah arti kemenangan, bila kita mengabaikan nilai-nilai itu?
Bagai saya, sebagai rakyat yang merindukan ketauladanan kepemimpian, Pak Prabowo dan Pak Jokowi sudah mememangkan hati rakyat. Pilpres yang damai adalah puncak dari kemengan itu. Bukankah kita semua layak mempertahankan kemangan itu? Bukan kemenangan yang bersifat individual, tetapi kemanangan kita semua sebagai bangsa. Alangkah indahnya, bila kemangan itu dinikmati oleh semua rakyat. Bukankah dalam negara demokrasi, kemenangan tertinggi mestilah menjadi kemenangan rakyat, karena kemenangan dalam politik semestinya tidak berhenti sebagai kemenangan untuk mencapai kekuasaan, tapi kemenangan yang digunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Saya tahu, Pak Prabowo begitu menghormati Gus Dur. Dan saya ingat, Gus Dur, atau Abdurahman Wahid, mantan Presden RI ke 3 yang sama-sama kita cintai dan hormati itu pernah berkata, “Tak ada satu pun kekuasaan yang layak dipertahankan dengan pertumpahan darah.” Saya kita, begitu pun dengan kemenangan. Tak perlu ada “pertumpahan darah” hanya untuk kemenangan. Apalagi bila kemenangan itu memang diniatkan untuk kesejahteraan rakyat. Kemenangan terindah adalah kemengan untuk kemanusiaan.

Agus Noor

No comments:

Post a Comment